7.22.2014

Keadilan di Negeri SJSF

Aku melihat banyak air mata di negeri ini. Air mata yang seolah sudah menjadi hal biasa. Kadang aku ingin memaki, memaki dan terus memaki. Namun apalah daya, makiku kerap hanya membentur dinding penyumbat telinga keserakahan. aku hanyalah seonggok pecundang berkalang duka di negeri usang, karena aku tak pernah benar-benar menjadi bagian yang nyata di negeri ini, wujud nyata dari namaku sendiri: Keadilan. Melihat kebahagiaan segelintir orang-orang yang di atas, seolah-olah melihat setumpukan kezaliman di atas duka sang jelata.

Aku adalah Keadilan, ya aku masih hidup di negeri ini, tapi aku seringkali diperalat oleh Keserakahan. Dengan Mengatasnamakanku dia dengan sengaja mencabik-cabik nuraniku. seperti tak berharga, aku pun kerap merangkak di jurang ketimpangan, terlempar jauh dan sebisa mungkin mereka tak ingin melihatku. Ya, begitulah tabiatnya Keserakahan.

Aku berharap tidak diperalat keserakahan. Aku tidak masalah jika digunakan sebagai alat, asalkan untuk kesejahteraan orang banyak. Bukan untuk segelintir orang yang mengatasnamakan orang banyak, namun hanya memelihara perut buncit mereka yang bersembunyi di balik kemeja klimis dan dasi bermerek mahal. Mereka yang duduk di bangku singgasana dan menjadi pengabdi setia pemodal berambut pirang emas. Mereka yang menjadi pengabdi tuan keserakahan taraf internasional.

Sebelumnya aku dielu – elukan banyak orang. Aku menjadi harapan bagi mereka dalam berjuang. Karena tak ada satupun manusia yang ingin ditindas, meskipun ada dari mereka yang ingin menjadi penindas. Menghamba pada keserakahan demi memuaskan hasrat duniawinya. Untuk sekedar hidup nyaman dan bahagia diatas penderitaan manusia yang lainnya.

Dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, aku  menjadi cita - cita utama bagi rakyat Indonesia untuk merdeka dari belenggu kolonialisme dan feodalisme. Aku berada dalam hati setiap orang, dari suku maupun  ras apapun, dari keyakinan akan Tuhan hingga Dewa bagi bangsa di sebuah negeri maupun antar negeri.

Namun dibalik air mata, aku melihat masih ada mereka yang mencintaiku dengan tulus. Mereka meletakanku dalam  hati nurani terdalam dan menjadikan ku alasan untuk berbuat kebajikan. Merekalah yang membuat keberadaanku berharga. Mereka menghidupkanku dalam gerak dan langkah  nyata. Bahkan mengajak manusia yang lain untuk kembali memurnikan tujuanku ada, menggalang solidaritas atas namaku untuk menyelamatkan umat manusia.

Mereka rela bertarung dengan tuan keserakahan dan  hamba – hambanya. Mereka menjadikanku hal yang luar biasa, di tengah masih  banyak yang mencederaiku di negeri ini, Negeri setengah Jajahan Setengah Feodal. Mereka membawaku berjalan, meniti garis perjuangan demokrasi nasional. Jalan keluar yang kongkrit untuk mengusir para investor asing yang sudah bercokol di negeri ini, melawan rezim penguasa yang fasis dan anti rakyat, negara asing yang juga menjadi kaki tangan si tuan keserakahan.

Mereka hidup di negeri ini. Ya, mereka memberiku  harapan baru bahwa aku dapat terus hidup. Meskipun ditengah tantangan yang mendera, mereka tetap pantang menyerah. Mereka adalah orang yang mau menyerahkan jiwa bahkan raga untuk itu. Mereka menggalang kekuatan dari berbagai sektor mulai dari petani di lahan pertanian, buruh di perkebunan, pabrik maupun yang bekerja di luar negeri. Mereka juga menggalang para perempuan yang mengalami penindasan berlapis karena keserakahan, pemuda mahasiswa di tengah ancaman putus sekolah dan pengangguran, serta kaum miskin kota yang digusur karena hamba keserakahan. Tidak hanya itu, merekpun menggalang kekuatan dengan orang di seluruh negeri di dunia untuk melawan tuan keserakahan berserta hamba – hambanya.

Ya, mereka orang yang ditakuti oleh tuan  keserakahan. Hamba keserakahan  itu berupaya untuk membumi hanguskan  mereka. Namun atas namaku, mereka bertahan.  Kecintaan  mereka padaku sungguh luar biasa. Bahkan  ketika kondisi di negeri ini makin memanas oleh pemilihan hamba keserakahan. Sehari lagi, sebelum penentuan hamba siapa yang akan  naik dan memimpin negeri ini.

“ Win, hari ini ada pertemuan di Aliansi kota pelajar untuk membahas soal penolakan calon penguasa fasis dan anti rakyat, “ ujar Erwan mengingatkan. Erwan adalah seorang yang mencintai keadilan. Erwin adalah saudara kembarnya, yang bersama – sama dengannya selama lebih dari 7 tahun sejak mereka mulai aktif di organisasi mahasiswa untuk berjuang melawan keserakahan.

“ Iya, Wan. Hampir saja aku lupa. Siapa saja yang hadir nanti ?, “ tanya Erwin sambil menyisir rambut panjangnya.

“ Banyak, dari perwakilan petani, buruh, mahasiswa, perempuan, dan perwakilan organisasi buruh migran yang ada di kota,” jelas Erwan. Erwan sibuk mengaransemen lagu “tanah untuk rakyat”, yang rencananya akan dibawa pada pertemuan nanti. Ya, selepas dari mahasiswa Erwan dan Erwin bergerak pada gerakan kebudayaan, aktif dalam sebuah band progresif yang mengambil peran untuk perlawanan budaya keserakahan di negeri ini.

“ Seni Perlawanan Oleh rakyat,” ujar Erwin. Erwin sibuk menarikan pensilnya ke atas karton putih. “ Poster ini akan kita bawa saat pertemuan nanti,” Erwin melihatkan karyanya pada Erwan. Karton itu bergambar satu kelompok band  berserta perwakilan sektor rakyat dengan tulisan “Lawan Capres fasis dan anti rakyat, upah tanah kerja adalah keharusan. “ bagaimana, bagus tidak? “, tanya Erwin.

Erwan tersenyum, “ Ya, bagus sekali. Sekarang, coba nyanyikan lagu ini. Dengan aransement reggae, sepertinya menarik jika kamu  menyanyikan ini,” Erwan menyodorkan kertas berisikan partitur rangkaian not balok. Erwin mengambil kertas itu dan menfokuskan pikiran pada isi kertas itu. Tak sampai lima menit, Erwin tersenyum dan mengancungkan jempol pada Erwan.

Tak lama, coker yang  merupakan basesampnya band mereka dialuni oleh senandung keadilan. Coker merupakan nama kos – kosan Erwan Erwin, dan  nama tersebut atas kesepakatan penghuni kos. Coker kepanjangan dari Cowok kurus dan kerempeng, kalau di serempetkan bisa dibilang cowok keren.

*

“ Tahun ini merupakan tahun politik yang panas. Juga menjadi penanda bahwa ditengah pemilihan penguasa, penderitaan rakyat terus bertambah, “ ujar Wahyu, salah satu pimpinan organisasi mahasiswadan  koordinator aliansi kota saat pertemuan aliansi kota. Pertemuan tersebut diadakan di salah satu sekretariat organisasi mahasiswa kota.

Pertemuan  tersebut dihadiri oleh puluhan aktivis yang berasal dari berbagai sektor dan kalangan. Ruangan ukuran 8 x 8 meter, dengan papan tulis ditengahnya semakin dipenuhi oleh semangat membara para anak manusia memperjuangkan keadilan.

Sugi, salah satu aktivis buruh di kota juga menimpali, “ Upah buruhpun kian dipangkas, kriminalisasi pada perjuangan buruh dan pemberangusan serikat buruh terus marak terjadi. Tak satupun dari mereka calon penguasa itu yang serius untuk menyelesaikan persoalan buruh. Bahkan  mereka mengatas namakan keadilan. Keadilan  macam apa yang mereka maksudkan? “

“ Bahkan ditengah pemilihan  mereka, begitu banyak kasus perampasan lahan dan kriminalisasi petani. Tak terhitung lagi sudah berapa banyak petani yang jadi korban kebiadaban mereka dan kroni - kroninya,” ujar Busu, aktivis tani daerah ikut bersuara.

“ Apalagi pemuda mahasiswa. Mereka dan kroni – kroninya telah menciptakan liberalisasi pendidikan  yang berujung pada mahalnya biaya pendidikan. Banyak pemuda yang tidak bisa bersekolah, putus sekolah maupun kuliah. Bahkan parahnya pendidikan hari ini sengaja mereka siapkan untuk menjadi budak bagi tuan dan hamba – hamba keserakahan,” ujar Widia, gadis manis berhijab, salah seorang aktivis mahasiswa kota.

Ve yang merupakan aktivis buruh migran juga menambahkan, persoalan yang terjadi di lahan pertanian dan pendidikan menyebabkan banyaknya rakyat yang harus mendulang batu di negeri orang. Pastinya para pendulang itu tidak mendapatkan jaminan apa apa dari negara, bahkan mereka dijebak dalam kedok kesejahteraan, padahal penguasa yang sebelumnya hanya ingin mendulang keuntungan dengan menjual rakyat.

Erwan, sebagai salah satu aktivis seni progresif menambahkan, “ bahkan di sektor kebudayaanpun , mereka jelas akan  membawa budaya negeri ini menuju keterbelakangan akut. Hal itu terlihat dari praktek mereka menghisap dan menindas segala sektor. Maka corong – corong kebudayaan, mereka gunakan untuk mengilusi rakyat akan keadilan semu. ” Erwin mengangguk setuju dengan pernyataan kawan – kawannya.

“ Memilih calon penguasa hari ini ibaratnya memilih harimau dan serigala ditengah kawanan domba. Kedua memiliki karakter fasis dan anti rakyat. Yang satu bukan pilihan, yang satu lagipun bukan solusi. Kita harus tetap menyuarakan bahwa kita menolak calon penguasa yang fasis dan anti rakyat,” ujar Erwin.

“ Saya rasa ini sudah mengerucut, apakah kita semua sepakat untuk melakukan aksi ? Kita suarakan tentang calon penguasa fasis dan anti rakyat, untuk menyadarkan rakyat tentang siapa calon penguasa yang mengaku sebagai pemimpin rakyat! , “ Wahyu segera membawa forum ke inti pertemuan.

“ Ya, kita sepakat untuk turun aksi,” seru semua peserta pertemuan serempak.

Wahyu segera merespon cepat dan mengkonsolidasikan peserta pertemuan dalam sebuah perangkat aksi. “ Aku sudah menyiapkan poster untuk aksi,” Erwin mengeluarkan selembar poster besar bergambar perjuangan rakyat.

Erwanpun menambahkan, “ Saya sudah siap dengan aransemen lagu yang bisa kita bawakan pada saat aksi nanti. “

Wahyu menanggapi, “ Luar biasa, lalu bagaimana dengan kawan – kawan yang lain? “

Satu persatu peserta aksi mengajukan diri untuk mengambil peran. Widya berperan untuk pembuatan pamplet dan pers rilis untuk aksi. Busu mengambil peran menghubungi kontak media, Sugi berperan untuk menyiapkan teaterikal, dan peserta lainnya ikut mengambil peran yang lainnya.

“ Baiklah, lalu di mana lokasi kita melakukan aksi ? “ tanya Wahyu lagi.

Widya segera menjawab, “ kita berkumpul di dekat pasar rakyat saja. Dari sana kita long march menuju kantor penguasa daerah dan kantor penyelenggaran pemilihan penguasa fasis anti rakyat tingkat daerah. “

Serempak peserta pertemuan berseru, “ Setuju..!! “

“ Baiklah, kalau begitu malam ini kita akan menyiapkan seluruh keperluan aksi. Selain itu, kawan – kawan perwakilan  masing – masing bisa segera mengkonsolidasi massa di basis masing – masing. Saya yakin ini sudah menjadi pembahasan  kawan – kawan di basis masing – masing. Sedikit informasi, kawan – kawan kita di daerah  lain juga sedang mempersiapkan hal yang sama. Jadi kita semua harus satu pandangan, satu gerak. Lawan penindasan dan keserakahan. Mari tegakan keadilan,” ujar Wahyu sebelum mengakhiri pertemuan.

“ Sepakat. Hidup rakyat, Jayalah perjuangan massa,” seru peserta pertemuan.

Malamnya, sekretariat mahasiswa kota disibukan oleh aktivitas perangkat aksi untuk mempersiapkan aksi besok. Erwin sibuk mewarnai posternya dengan cat minyak yang telah dibelinya, sedangkan Erwan sibuk dengan gitarnya untuk melatih lagi lagu yang sudah diaransementnya.

**

“ Imperialisme… Hancurkan..! Feodalisme… Musnahkan..! Kapitalis Birokrat.. Musuh rakyat..! Resist Resist USA Imperialist, number one terorits..!”, elu peserta aksi yang berjumlah seribuan. Peserta aksi dengan berbagai poster penolakan calon penguasa fasis anti rakyat tersebut sudah berada di pasar rakyat sejak pukul 8 pagi. Para peserta aksi terpimpin oleh Wahyu yang memegang kendali sebagai koordinator aksi.

Peserta aksi longmarch menuju kantor penguasa daerah dan terakhir berhenti di kantor penyelenggara pemilihan calon penguasa fasis anti rakyat. Erwan bersama band progresifnya membawakan lagu “ Tanah untuk Rakyat” yang sudah diaransemennya di atas mobil orasi yang sudah dipersiapkan oleh perangkat aksi. Poster Erwin di bawa oleh beberapa massa aksi dan diancungkan tinggi tinggi ke atas.

“ Hari ini adalah  penentuan bagi calon penguasa fasis anti rakyat untuk menjadi rezim boneka bagi imperialisme. Kita menolak calon penguasa fasis anti rakyat. Tidak ada pembebasan rakyat tanpa adanya reforma agraria sejati. Tidak ada pembebasan jika penindasan pada buruh masih saja terjadi. Tidak ada keadilan jika pemuda mahasiswa tidak mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak. Tidak ada kesejahteraan jika kaum miskin kota digusur dan perempuan masih saja ditindas. Dan tidak ada kedua dari calon penguasa itu yang serius dalam menyelesaikan persoalan ini!”, seru Wahyu dalam orasinya.

Aksi berlangsung hingga pukul 12 siang dan diakhiri oleh orasi kebudayaan yang dibawakan oleh Erwin dan band progresifnya, “ Keadilan tidaklah jatuh dari langit. Keadilan ada jika kita mau merebutnya dari keserakahan. Keserakahan yang dihambai oleh penguasa telah mencederai keadilan. Mereka bersembunyi dibalik jargon keadilan semu. Hari ini bukanlah akhir, namun adalah proses. Bahwa keadilan akan terus kita tegakan, sampai kemenangan rakyat terwujud. Jayalah perjuangan rakyat!”

Setelahnya, seluruh peserta aksi berbaris rapi menuju alun – alun kota dan melakukan evaluasi atas aksi tadi. Malam nya, para penyelenggara pemilihan calon penguasa fasis anti rakyat tingkat negeri mengumumkan siapa yang berhasil meraih tampuk hamba keserakahan. Ya, perjuangan rakyat belum berakhir. Perjuangan tidak berakhir sampai di sini. Keadilan akan menjadi penerang bagi pejuang rakyat yang meniti di jalan perjuangan demokrasi nasional. Bahwa rakyat harus terus berhimpun, menggalang kekuatan, dan bersatu melawan penindasan. 

oleh : Like