Oleh : Angelique Maria Cuaca
(Mahasiswa Ekonomi Universitas Padang dan Biro Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cab. Padang
Gerakan
perempuan tidak lepas dari sejarah perkembangan masyarakat. Karena
tidak lepas dari sejarah gerakan masyarakat, maka gerakan perempuan ikut
mengalami pasang surut, ada perkembangan dan kemunduran sehingga ada pengaruh terhadap tahapan yang mereka lalui. Tahapan tahapan itu berjalan
dalam periodisasi waktu yang berbeda dan berpengaruh terhadap kuantitas
serta kualitasnya. Paradigma yang ada yang akhirnya menentukan dan
membentuk arah dan tujuan gerakan perempuan.
Orde Soekarno
Di
dalam proses kelahiran negara Indonesia, revolusi fisik merupakan
keniscayaan. Gerakan perempuan pada saat itu bahu-membahu di dalam hiruk
pikuk revolusi, menjadi bagian dari unit tempur yang dibentuk untuk
memberikan pertolongan pertama dan menyediakan makanan bagi tentara.
Ketika
revolusi fisik selesai, gerakan perempuan kemudian diperhatikan negara.
Hal itu tercermin dari prinsip kesetaraan yang dicantumkan pada UUD
1945. Organisasi perempuan pada masa ini cenderung mendukung negara.
Mereka juga fokus membantu keluarga pada masa-masa kesusahan.
Orde
Soekarno merupakan Orde Historis bagi gerakan perempuan, karena banyak
pergulatan yang terjadi. Periode yang merupakan masa kritis gerakan
perempuan. Organisasi
perempuan tumbuh dan berkembang pesat. Negara memberikan kebebasan
terhadap mereka untuk beraktivitas hingga ke tingkat perdesaan.Mereka
memiliki kegiatan sendiri dan mandiri meskipun tuntutan mereka mengenai
undang-undang perkawinan seringkali diabaikan. Kesetaraan semakin terasa
saat undang-undang mengenai pembayaran gaji setara untuk pegawai negeri
diberlakukan negara dan masuknya perempuan dalam beberapa susunan
kabinet.
Gerakan
perempuan makin bergerak militan. Para ibu mendidik anaknya dalam
keyakinan revolusioner. Mereka juga berpartisipasi dalam gerakan anti
neo-kolonialisme. GERWANI merupakan organisasi perempuan terbesar
berhaluan sosialis radikal yang militan saat itu. Mereka memperjuangkan
cita-cita keibuan sesuai dengan kebutuhan kaum buruh dan petani
perempuan. Strategi mereka memperbaiki beban kerja perempuan. Mereka
memberantas buta huruf melalui kursus-kursus, tujuannya untuk membuat
perempuan sadar politik serta melatih perempuan miskin untuk menjadi
pemimpin. Di samping itu, mereka juga membentuk sekolah taman kanak
kanak, koperasi konsumsi, kelompok tolong menolong, dan simpan pinjam.
Anggota direkrut dari perempuan kalangan rakyat jelata.
Orde Soeharto
Berbicara
tentang penindasan terhadap perempuan berarti mempertanyakan politik
pemerintah dan menyebarkan fitnah.Negara mendoktrin bahwa perempuan
tidak berhak menuntut banyak hal, karena seumur hidupnya, ia istri yang
patuh terhadap suami dan Negara melalui pengajaran Panca Darma Wanita.
Perempuan digambarkan memiliki sifat lemah-lembut, tidak berbicara
dengan suara keras menjadi istri yang penurut dan anak perempuan yang
patuh.
Orde
Soeharto adalah orde penghancuran gerakan perempuan revolusioner. Pada
masa ini, gerakan perempuan melawan penindasan dibungkam. Hal itu
dibuktikan dari pembumihangusan organisasi-organisasi yang
memperjuangkan hak-hak perempuan miskin.
Perempuan
disimbolkan negara sebagai pelaku yang mendukung pembangunan. Pada saat
Orde Baru, pemaknaan arti ibu lebih diperluas. Perempuan dipandang
secara kodrati sebagai pengasuh dan pendidik generasi muda. Bahkan
ketika kerusahan Mei terjadi, presiden Soeharto dengan tegas menghimbau
seluruh ibu agar mengingatkan pemuda yang melakukan demonstrasi.
Hubungan politik dan sosial dipusatkan pada sosok bapak dan ibu. Julia
suryakusuma (1987) memperluas pemikiran ibuisme menjadi ibuisme negara
yang dijadikan watak ideologi. Konstruksi makna ibu dan bapak diperluas
lagi dimana panggilan ibu dan bapak dilekatkan kepada semua perempuan
dan laki laki, bukan hanya sebagai ibu dan bapak biologis.
]
Negara
membentuk Dharma Wanita dengan program PKK (Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga) yang mengarahkan perjuangan perempuan ke arah pembangunan.
Dalam perekrutan anggota, Dharma Wanita wajib diikuti oleh istri pegawai
negeri. Jabatan yang mereka terima setara dengan pangkat suaminya. Di
sini tercermin bahwa perempuan mendapatkan jabatan bukan dari kemampuan
dan minat mereka, namun tergantung pada suami. Dharma Wanita menjadi
sama dengan Fujinkai, organisasi perempuan dalam masa penjajahan Jepang,
secara struktur dan gerak. Dharma Wanita tidak memperjuangkan hak-hak
kaum perempuan, karena bagi mereka kaum perempuan sudah beremansipasi
melalui perjuangan R.A. Kartini. Kegiatan mereka terfokus pada
demontrasi masak memasak, pembuatan kerajinan, jahit menjahit, dan
mengikuti penataran indoktrinisasi ideologi negara.
Orde Pasca Soeharto
"sebelum
amuk massa meletus, terlihat beberapa orang berpakaian perlente memberi
uang kepada sejumlah pemuda untuk membuat kerusuhan." (Aksi, 19-25 Mei 1998, hlm. 5).
"Setelah
kedua gadis itu berhasil melepaskan diri dari orang-orang biadab itu,
saya mendekati mereka dan mendekapnya. Mereka minta saya membantu
mencarikan jalan aman untuk pulang. Karena saya tinggal di daerah itu,
saya hafal jalan pintas menuju jalan raya. Sesampai di perempatan
Cengkareng, saya melihat beberapa mayat perempuan dalam keadaan
telanjang, dengan muka ditutup koran. Perempuan-perempuan itu tampak
telah diperkosa, karena dari vagina mereka terlihat leleran darah yang
mengering dan dikerubungi lalat. Setelah menolong dua wanita itu, saya
pulang melewati jalan yang sama. Ketika saya sampai di perempatan
Cengkareng, mayat-mayat perempuan itu sudah tidak ada lagi. Ke mana
mayat-mayat itu? Siapa yang membawa mereka?" (Saksi mata, Muara Angke, 14 Mei 1998).
Tanda-tanda
sebelum berakhirnya Orde Soeharto adalah kerusuhan yang terjadi pada
bulan Mei 1998. Kebanyakan sasarannya adalah orang Cina. Orang Cina
menjadi korban, sasaran empuk untuk melanggengkan Orde yang banyak
keroposnya. Aliansi Kemanusiaan Korban Kekerasan Negara dalam
pernyataannya menyatakan bahwa peristiwa Mei 1998 adalah sebuah
kerusuhan yang terencana. (Mengenang untuk Tidak Melupakan. Pernyataan Sikap Peringatan 6 Tahun Tragedi Mei 1998. Paguyuban Keluarga Korban Mei 1998 - Aliansi Kemanusiaan Korban Kekerasan Negara. Pondok Ranggon, 13 Mei 2004)
Setelah
Orde Soeharto berakhir dan digantikan para pemimpin berikutnya, tidak
ada upaya negara untuk membongkar peristiwa yang menimpa orang Cina.
Bukanlah kesan yang salah senadainya Orde Pasca Seoharto dinilai masih
mengikuti warisan lama, adat Orde Soeharto yang membiarkan rakyat
menjadi korban, dan pembiaran ini merupakan sebuah kesengajaan karena
kebijakan politik yang dihasilkan negara justru bersikap dingin atas
jatuhnya korban. Tidak cukup menjadi korban, stigma pun harus
ditempelkan atas diri korban sebagai pelengkap penderitaan mereka.
Ketika
para pemimpin Orde Pasca Soeharto tidak mampu mendorong negara
menegakkan keadilan maka menjadi mustahil mendorong kebijakan negara
menjadi maju. Ketika para perempuan dibiarkan negara menjadi korban
peristiwa kejahatan politik masa lalu, akan sangat sulit membayangkan
negara kemudian dapat memberi ruang politik yang segar terhadap
perempuan, seperti. ketika Megawati sempat menjabat jadi Presiden, DPR
menghasilkan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu yang
mengatur kuota sekurang-kurangnya 30 persen bagi perempuan.
]
Tetapi
secara umum, kebijakan politik Megawati selama menjabat jadi Presiden
tidak banyak mendukung perempuan. Perempuan yang menjadi sasaran
kekerasan justru lepas dari perhatiannya. Megawati gagal mengangkat
kasus pelanggaran HAM, mulai dari kasus yang menimpa perempuan selama DOM
di Aceh pada tahun 1989-1998 dan kerusuhan rasial Mei 1998 yang diikuti
dengan pemerkosaan perempuan Cina, penjarahan, pembakaran, pembunuhan,
dan pembantaian.
Pasca
Megawati tidak menjabat jadi Presiden, peraturan dan perundangan tidak
lagi mengakomodir peran perempuan, tetapi mengkriminalkan tubuh
perempuan. Menjadi perempuan adalah kejahatan sehingga tubuhnya harus
banyak dibalut kain, tubuhnya tidak bebas muncul di luar rumah, dan
tubuhnya adalah sumber pengundang kejahatan dan mendatangkan godaan bagi
lelaki.
Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat setidaknya mulai
dari tahun 1999-2009, ada 154 Peraturan Daerah yang diskriminatif.
Setelah itu, peraturan yang diskriminatif bukannya berkurang, bahkan
bertambah, baik di daerah maupun pusat. Dari awal 2009 hingga menjelang
akhir 2010, terjadi penambahan 62 aturan diskriminatif. (Dalam Dua Tahun, Ada 62 Aturan Baru yang Diskriminatif. Tempo Interaktif, Rabu, 06 Oktober 2010. http://www.tempointeraktif.com/ )
Menurut
Thomas Aquinas, negara punya kewajiban untuk melindungi warga
negaranya. Tetapi yang terjadi di Indonesia, negara gagal tidak saja
dalam melindungi warga negaranya yang berjenis kelamin perempuan, tetapi
juga dalam memberikan rasa keadilan bagi warga negaranya yang berjenis
kelamin perempuan.
Ketika
negara tetap memilih bersikap diam menyaksikan diskriminasi yang terus
terjadi dan tidak berupaya mengakhiri diskriminasi itu, maka negara
menjadi institusi yang kemudian bertanggungjawab terhadap proses
diskriminasi jenis kelamin sehingga mematikan gerak perempuan sebagai
pribadi yang berakibat perempuan tidak dapat memiliki kemerdekaannya
sebagai manusia dan berujung pada matinya gerakan perempuan secara
berangsur-angsur. Karena itu, (1) negara harus memberi ruang bagi
perempuan baik dalam tataran pribadi ataupun di ruang publik, (2)
Penghapusan hukum, peraturan, perundangan yang mendiskriminasikan
perempuan karena bertentangan dengan kovenan HAM, (3) Hukum hukum yang
mendukung keterlibatan perempuan di tingkatan publik harus
dihasilkan.***