Oleh : Angelique Maria Cuaca
Sewaktu
kecil, saya ingat ada sebuah permainan sederhana yang biasa dilakukan
sebagai ice breaking selingan suatu kegiatan. Permainan itu bernama “
bisik – bisik “. Permainan ini dilakukan sebagai cara menyegarkan otak.
Semua akan tertawa ketika apa yang disampaikan berbeda dari awal yang
dimaksudkan. Menurut artikel di Psikologi Zone tanggal 15 Agustus 2009,
tertawa memang dapat menyeimbangkan hormon penyebab stress dan
meningkatkan kekebalan tubuh. Namun, tanpa disadari nilai dari permainan
itu bukan hanya untuk menjaga kesehatan dan sebagai selingan untuk
mencairkan suasana yang alot karena runtutan kegiatan yang padat. Nilai
yang diambil sebenarnya bisa lebih dari itu.
Seorang
instruktur menerangkan permainan kepada 10 peserta. Mereka diminta
berbarisdan diberi nomor secara berurutan mulai dari 1 sampai 10.
Permainan dimulai ketika instruktur memberikan secarik kertas peserta 1
dan meminta orang tersebut untuk membisikan isinya ke peserta 2,
peserta ke 2 membisikan kepada peserta 3, begitu seterusnya sampai
terakhir ke peserta 10. Setelah itu, instruktur menyimpan kertas dan
meminta peserta ke 10 untuk menyebutkan apa yang menjadi hasil dari
bisikan peserta ke 9 yang didengarnya. Seluruh peserta ribut setelah
mendengar apa yang disampaikan peserta 10, semuanya saling menyalahkan.
Peserta ke 6 menyalahkan ke 10 , “ bukan itu yang dibisikan. Wah salah
nih, harusnya kan seperti ini. “ Semua berusaha memperjuangkan apa yang
dikatakannya adalah sesuatu yang benar .Instruktur membiarkan suasana
itu riuh dan 10 menit kemudian ia menginstrukturkan agar semua peserta
mengutarakan apa yang didengarnya mulai dari peserta pertama sampai
terakhir.
Instruktur berkata, “ Peserta pertama, apa yang
kamu baca dari secarik kertas yang saya berikan tadi? “Peserta pertama
menjawab, “ Saya suka situ sebab situ suka sama sapi saya sehingga sapi
saya suka senyum senyum sendiri. “ Semua penonton tertawa. Peserta kedua
lanjut menjawab, “ Saya suka situ sebab situ senyum sama sapi saja. “
Mendengar penuturan peserta ke 2, penonton kembali tertawa sampai
penuturan peserta ke 10 yang hanya terdengar, “ Saya suka sapi. “
Suasana dalam ruangan menjadi hidup oleh riuh tertawa penonton, tak
terkecuali peserta. Instruktur kemudian mengeluarkan secarik kertas yang
diberikan pada peserta pertama tadi dan membacanya, “ Saya suka situ
sebab situ suka sama sapi saya sehingga sapi saya suka senyum senyum
sendiri. “ Semua yang ada di ruangan itu tertawa kembali. Intruktur
kemudian memberi pertanyaan kepada semua yang ada di ruangan, “ Lalu
kesimpulan apa yang bisa kita ambil dari permainan ini? “ Salah seorang
dari penonton berdiri dan mengutarakan apa yang disimpulkannya, “
Permainan tadi menjelaskan bahwa dibutuhkan kerjasama yang baik agar
tidak terjadi kesalahpahaman. “ Kemudian salah satu dari peserta ikut
memberi penjelasan, “ Saya simpulkan jika terjadi kesalahpaham maka kita
harus mencari penyebab dan jalan keluar dari kesalahpahaman tersebut
dan memperbaikinya. “ Instruktur menutup permainan dan meminta 10
peserta kembali ke tempat duduknya.
Permainan tersebut
mengajak kita untuk berfikir, bisakah dibayangkan ketika instruktur
tidak menginstruksikan agar semua peserta mengutarakan apa yang
didengarnya? Pasti akan terjadi perdebatan yang alot antara peserta
sehingga sulit untuk menemukan titik terangnya. Peserta 1 akan
menyalahkan peserta ke 2 dan yang lainnya, bahkan bisa saja mereka
membuat koalisi menjadi beberapa kelompok yang dirasa hampir sama dengan
arti yang dimaksud. Perdebatan akan terus terjadi bahkan menghabiskan
waktu lebih dari yang telah dijadwalkan.
Permainan ini
coba saya refleksikan ke dalam perdebatan panjang mengenai marxisme,
dimulai dari Marx mengeluarkan tesis mengenai Dash Capital dan
analisanya bersama engels membentuk manifesto komunis sampai hari ini.
Telah ratusan tahun, perdebatan terus terjadi dan banyak dari para
pendepat tidak mampu menemukan titik selesai dari perdebatan ini.Banyak
dari mereka hanya berkutat di kritik yang sebenarnya tidak menjadi
substansi dari ajaran Marx itu sendiri. Terkait pada perdebatan mengenai
Marxisme pada bulan April di surat Kabar Padang Ekspres, saya coba
merefleksikan apa yang disampai Novelia Musda, Dedy Arsya, Rudi Cahyadi,
dan Febrian Bartez dalam menanggapi artikel dari Heru Joni Putra. Semua
mencoba memproyeksikan dari sudut padang masing – masing dan saya rasa
tidak ada yang keliru dengan itu. Sedikit mengutip kalimat yang pernah
dilontarkan oleh Yusman Zendrato seorang aktivis GRI , “Cahaya redup dari celah dinding bisa lebih terang hanya dengan menggeser tempat untuk memandangnya.” Oleh
karenanya, izinkan saya untuk melihat dari sudut pandang yang menurut
saya lebih terang dalam memandang konsep marxisme itu sendiri.
Marxisme dan Orde Baru
Tahun
1965 menjadi tombak di mana kondisi Indonesia berbalik 360 derajat.
Upaya yang telah dilakukan oleh founding father kita untuk
memperjuangkan negara yang seutuhnya merdeka menjadi sebuah kesia –
siaan. Naiknya Soeharto menjadi penyebab kenapa ajaran marxisme dilarang
di muka bumi Indonesia. Masih ingat dengan pembantaian jutaan umat
manusia hanya karena ia dituduh komunis? Bagaimana surat kabar tentara
memboikot berita mengenai kekejaman sukma Gerwani dan 7 Jenderal yang
dibunuh oleh PKI ? Pasca kejadian itu, Soeharto mengeluarkan banyak
kebijakan salah satunya adalah Tap. MPRS no.XXV/1966 tentang pelarangan
setiap kegiatan untuk menyebarkan / mengembangkan ajaran
komunisme/marxistme dan Leninisme di Indonesia. Semua ditujukan untuk
cita – cita bersama yaitu pembangunan. Banyak cerita dan pengakuan
sejarah mengenai kejadian ini. Simbol – simbol mulai disebar ke mana
mana mulai dari monumen, film, cerita , dan pelajaran dalam buku sejarah
sekolah yang menjadi Ingatan jangka panjang masyarakat. Narasi itu
berkembang dari mulut ke mulut, masuk di setiap sudut kehidupan dan
menjadi ingatan jangka panjang. Selama kita belum bisa memutuskan simbol
– simbol itu, seketika hal tersebut akan menjadi ingatan kebencian
untuk umat manusia.
K.H Abdulrahman Wahid pernah mencoba
untuk mencabut TAP. MPRS no.XXV/1966, namun hal ini ditolak oleh
beberapa kelompok yang mengatakan ini berbahaya. Tapi logikanya begini,
jika memang orang yang membunuh 7 dewan jendral bersalah dan ada anggota
dari Gerwani yang melakukan penganiayaan pada 7 jenderal maka
pertanyaannya adalah kenapa kejadian tersebut harus dibayar dengan
penumpasan jiwa yang tak bersalah. Bukankah di logika hukum mengatakan
bahwa dialah yang bersalah dengan bukti yang cukup maka ialah yang
dijatuhi hukuman? Lalu kenapa malah membunuh orang yang tak berdosa dan
mengeluarkan kebijakan untuk menghapuskan ajaran marxistme dan
leninisme? Apa yang salah dengan konsep marxistme sehingga begitu saja
dihapus dari muka bumi Indonesia? Saya sependapat dengan Heru Toni Putra
bahwasannya Soeharto terlalu terburu buru untuk mengambil keputusan
tanpa menganalisanya secara sehat. Cuba dengan menerapkan konsep
marxistme berhasil memerdekan dirinya dari penjajahan dan Venezuelapun
mampu menolak untuk tidak mau membayar hutang luar negeri dan membangun
kehidupan yang lebih sejahtera.Lalu apa inti dari ajaran Marxisme itu
sendiri? Pernahkah kita benar benar membacanya?
Marx
melalui bukunya Das Kapital menjelaskan mengenai kapitalisme yang
tertuang dalam Materialisme Historis. Seperti yang telah dijelaskan oleh
Rudi, masalahnya bertitik tolak pada penghisapan nilai lebih pada
perekonomian. Ekonomi menjadi pondasi bawah yang menentukan apa yang
menjadi bangunan atas seperti politik, agama, pendidikan, hukum, dan
media. Semua diarahkan untuk menjadi ketergantungan. Tingkat akhir dari
kapitalisme adalah imperialisme. Imperialisme bersama imperium dan
logika kapistalitik menjajah suatu bangsa untuk kemakmuran bangsanya
sendiri. Marx memformulasikannya dalam analisa materialisme dialetika
historis dan menjabarkannya menjadi dua aspek yaitu materialisme
dialetika dan materialisme historis. Marx yang dulunya seorang hegellian
mengambil konsep dialetikanya hegel dan mengambil konsep
materialismenya ferbauch dan menggabungkannya menjadi sesuatu yang
dinamis bahwa segala sesuatu berubah, bergerak, dan berkembang. Terlepas
Marx adalah seorang yahudi dan perlu di waspadai. Benar jika segala
sesuatu perlu kita waspadai, namun bukankah kita perlu kembali menggali
akar waspada itu dan menemukan solusi?
Rusia dan China
merupakan salah satu dari sekian banyak yang menerapkan prinsip marxisme
dan mengalami kegagalan. Indonesiapun coba menerapkan Marhaenisme yang
tertuang lewat trisakti yang disampaikan oleh Soekarno dan juga gagal
karena peristiwa 1965. Ernest mandel mencoba menganalisa dari sisi
sosiologisnya, David Harvey mencoba menganalisa dari sisi geografis, dan
banyak lagi yang mencoba menjelaskan masalah kontemporer pasca fase
industrial. Rusia dan China memang gagal dalam menerapkan marxisme,
ketika mereka gagal apakah serta merta marxisme yang dipersalahkan?
Bagaimana dengan logika liberalistik yang selama ini menindas satu sama
lain dengan kekuasaan kapital? Bukannya itu jurang pemisah yang
menyebabkan adanya si kaya dan si miskin? Adanya yang tergantung dan
menjadi penggantung?
Lenin, Mao, Soekarno, Fidel Castro,
Ho Chi Min, dan Hugos Chaves adalah mereka yang mencoba memutus jembatan
antara si kaya dan miskin. Mereka mencoba membangun tatanan yang lebih
humanis dan manusiawi. Di mana tidak ada penindasan manusia atas manusia
lainnya dan penindasan bangsa atas bangsa yang lainnya. Hanya saja,
perjuangan tidak akan sampai di situ saja. Segala sesuatu berubah,
bergerak dan berkembang begitu juga dengan kemerdekaan, ia senantiasa
harus dipertahankan dengan selalu menolak pada setiap bentuk penindasan
yang ada.
Menanti Fajar Menyingsing
Pengetahuan dan kekuasaan saling terkait satu sama yang lain. Kita tidak bisa membayangkan bahwa suatu ketika ‘pengetahuan’ tidak lagi bergantung pada ‘kekuasaan’ sebagaimana mustahil ‘pengetahuan’ tidak mengandung ‘kekuasaan’- Michel Foucault –
Pasca tergulingnya
Soekarno dan Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, nalar pendidikan serta
merta diubah menjadi nalar yang mendukung pembangunan kapitalistik.
Nalar tersebut coba dibangun dalam paradigma Rencana Pembangunan Lima
Tahun mulai dari REPELITA I sampai REPELITA VI. Penataran P4 dan metode
pelajaran tersentralisasi pusat membuat peserta didik tidak lagi kritis.
Program dalam REPELITA membawa bangsa Indonesia kembali menjadi bangsa
yang ketergantungan. Kekritisan dibungkam sejak kita berada di dalam
perut, kemudian dilanjutkan pada pendidikan nonformal, pendidikan formal
dan sampai kita menjadi seseorang yang menerapkan doktrin tersebut pada
anak cucu kita. Misalnya saja, anak kecil sudah di didik untuk membeli
mainan, tergantung dengan game online yang ditampilkan oleh seperangkat
peralatan berkabel dan playstation dan mainan mobil mobilan tanpa mampu
untuk menciptakan mainan sendiri. Kemudian di bangku sekolah, kita
diajarkan untuk menghafal bukan untuk memahami apa arti dari pelajaran
itu. Misalnya di pelajaran kita diminta untuk menghafal nama – nama
menteri dan presiden, namun kita tidak pernah diajak untuk memahami apa
tugas menteri dan presiden itu sendiri. Kita diajarkan pelajaran “
logika “ dalam pelajaran matematika di SMP dan SMA, namun kita tidak
diajarkan untuk mengaplikasikan logika itu dalam kehidupan sehari hari.
Kita tahu rumus – rumus fisika, namun tidak pernah memahami bahwa rumus
tersebut lahir dari kehidupan sehari hari. Kita tidak diajar sebagai
pencipta, namun kita diajar dan dibentuk untuk menjadi pemakai. Misalnya
saja, lulusan Sarjana Informatika bekerja di perusahaan asing yang
memproduksi chip komputer. Kita hanya sebagai aplikator dan pengguna.
Kita bukan dijadikan sebagai bangsa yang pencipta namun sebagai
konsumen. Mediapun ikut ambil peran sebagai corong untuk menggaungkan
budaya konsumerisme.
Jatuhnya Soeharto dan masuk ke era
reformasi, semua berlomba – lomba untuk memperbaiki dunia pendidikan.
Mulai dari diadakannya pendidikan kritis, pendidikan alternatif, dan
baru – baru ini pendidikan berkarakter. Namun tetap saja, hasil yang di
dapat selalu nihil. Begitu juga dengan memasukan pelajaran Marxistme di
pelajaran sekolah. Bisa dikatakan banyak dari orang orang Indonesia yang
masih terjebak dalam narasi yang diciptakan Soeharto. Kepahitan
mengenai anti komunisme dan marxisme masih melekat dalam ingatan
masyarakat Indonesia. Memasukan pelajaran Marxistme sama saja dengan
memberikan obat pahit kepada seorang anak kecil. Lalu apakah tidak ada
cara lain? Saya berfikir, ada cara yang lebih baik untuk bisa melihatnya
dengan lebih jernih. Tidak masalah itu pelajaran agama,
kewarganegaraan, sains maupun ilmu sosial, yang menjadi permasalahannya
adalah bagaimana memandang gambaran pelajaran dalam kerangka marxisme
yang berprinsip pada metode berpikir ilmiah, yang bisa dipertanggung
jawabkan berdasarkan hukum – hukum dialetika.
***
tulisan ini masih butuh masukan dan kritikan dari berbagai pihak
penulis