2.28.2011

Fajar Merah Indonesia


Oleh : Angelique Maria Cuaca

Sewaktu kecil, saya ingat ada sebuah permainan sederhana yang biasa dilakukan sebagai ice breaking selingan suatu kegiatan. Permainan itu bernama “ bisik – bisik “.  Permainan ini dilakukan sebagai cara menyegarkan otak. Semua akan tertawa ketika apa yang disampaikan berbeda dari awal yang dimaksudkan. Menurut artikel di Psikologi Zone tanggal 15 Agustus 2009, tertawa memang dapat menyeimbangkan hormon penyebab stress dan meningkatkan kekebalan tubuh. Namun, tanpa disadari nilai dari permainan itu bukan hanya untuk menjaga kesehatan dan sebagai selingan untuk mencairkan suasana yang alot karena runtutan kegiatan yang padat. Nilai yang diambil sebenarnya bisa lebih dari itu.

Seorang instruktur menerangkan permainan kepada 10 peserta. Mereka diminta berbarisdan diberi nomor secara berurutan mulai dari 1 sampai 10. Permainan dimulai ketika instruktur memberikan secarik kertas  peserta 1 dan meminta orang tersebut untuk membisikan isinya ke peserta 2, peserta ke 2 membisikan kepada peserta 3, begitu seterusnya sampai terakhir ke peserta 10. Setelah itu, instruktur menyimpan kertas dan meminta peserta ke 10 untuk menyebutkan apa yang menjadi hasil dari bisikan peserta ke 9 yang didengarnya. Seluruh peserta ribut setelah mendengar apa yang disampaikan peserta 10, semuanya saling menyalahkan. Peserta ke 6 menyalahkan ke 10 , “ bukan itu yang dibisikan. Wah salah nih, harusnya kan seperti ini. “ Semua berusaha memperjuangkan apa yang dikatakannya adalah sesuatu yang benar .Instruktur membiarkan suasana itu riuh dan 10 menit kemudian ia menginstrukturkan agar semua peserta mengutarakan apa yang didengarnya mulai dari peserta pertama sampai terakhir.

Instruktur berkata, “ Peserta pertama, apa yang kamu baca dari secarik kertas yang saya berikan tadi? “Peserta pertama menjawab, “ Saya suka situ sebab situ suka sama sapi saya sehingga sapi saya suka senyum senyum sendiri. “ Semua penonton tertawa. Peserta kedua lanjut menjawab, “ Saya suka situ sebab situ senyum sama sapi saja. “ Mendengar penuturan peserta ke 2, penonton kembali tertawa sampai penuturan peserta ke 10 yang hanya terdengar, “ Saya suka sapi. “ Suasana dalam ruangan menjadi hidup oleh riuh tertawa penonton, tak terkecuali peserta. Instruktur kemudian mengeluarkan secarik kertas yang diberikan pada peserta pertama tadi dan membacanya, “ Saya suka situ sebab situ suka sama sapi saya sehingga sapi saya suka senyum senyum sendiri. “ Semua yang ada di ruangan itu tertawa kembali. Intruktur kemudian memberi pertanyaan kepada semua yang ada di ruangan, “ Lalu kesimpulan apa yang bisa kita ambil dari permainan ini? “ Salah seorang dari penonton berdiri dan mengutarakan apa yang disimpulkannya, “ Permainan tadi menjelaskan bahwa dibutuhkan kerjasama yang baik agar tidak terjadi kesalahpahaman. “ Kemudian salah satu dari peserta ikut memberi penjelasan, “ Saya simpulkan jika terjadi kesalahpaham maka kita harus mencari penyebab dan jalan keluar dari kesalahpahaman tersebut dan memperbaikinya. “ Instruktur menutup permainan dan meminta 10 peserta kembali ke tempat duduknya.

Permainan tersebut mengajak kita untuk berfikir, bisakah dibayangkan ketika instruktur tidak menginstruksikan agar semua peserta mengutarakan apa yang didengarnya? Pasti akan terjadi perdebatan yang alot antara peserta sehingga sulit untuk menemukan titik terangnya. Peserta 1 akan menyalahkan peserta ke 2 dan yang lainnya, bahkan bisa saja mereka membuat koalisi menjadi beberapa kelompok yang dirasa hampir sama dengan arti yang dimaksud. Perdebatan akan terus terjadi bahkan menghabiskan waktu lebih dari yang telah dijadwalkan.

Permainan ini coba saya refleksikan ke dalam perdebatan panjang mengenai marxisme, dimulai dari Marx mengeluarkan tesis mengenai Dash Capital dan analisanya bersama engels membentuk manifesto komunis sampai hari ini. Telah ratusan tahun, perdebatan terus terjadi dan banyak dari para pendepat tidak mampu menemukan titik selesai dari perdebatan ini.Banyak dari mereka hanya berkutat di kritik yang sebenarnya tidak menjadi substansi dari ajaran Marx itu sendiri. Terkait pada perdebatan mengenai Marxisme pada bulan April di surat Kabar Padang Ekspres, saya coba merefleksikan apa yang disampai Novelia Musda, Dedy Arsya, Rudi Cahyadi, dan Febrian Bartez dalam menanggapi artikel dari Heru Joni Putra. Semua mencoba memproyeksikan dari sudut padang masing – masing dan saya rasa tidak ada yang keliru dengan itu. Sedikit mengutip kalimat yang pernah dilontarkan oleh Yusman Zendrato seorang aktivis GRI , Cahaya redup dari celah dinding bisa lebih terang hanya dengan menggeser tempat untuk memandangnya.” Oleh karenanya, izinkan saya untuk melihat dari sudut pandang yang menurut saya lebih terang dalam memandang konsep marxisme itu sendiri.

Marxisme  dan Orde Baru

Tahun 1965 menjadi tombak di mana kondisi Indonesia berbalik 360 derajat. Upaya yang telah dilakukan oleh founding father kita untuk memperjuangkan negara yang seutuhnya merdeka menjadi sebuah kesia – siaan. Naiknya Soeharto menjadi penyebab kenapa ajaran marxisme dilarang di muka bumi Indonesia. Masih ingat dengan pembantaian jutaan umat manusia hanya karena ia dituduh komunis? Bagaimana surat kabar tentara memboikot berita mengenai kekejaman sukma Gerwani dan 7 Jenderal yang dibunuh oleh PKI ? Pasca kejadian itu, Soeharto mengeluarkan banyak kebijakan salah satunya adalah Tap. MPRS no.XXV/1966 tentang pelarangan setiap kegiatan untuk menyebarkan / mengembangkan ajaran komunisme/marxistme dan Leninisme di Indonesia. Semua ditujukan untuk cita – cita bersama yaitu pembangunan. Banyak cerita dan pengakuan sejarah mengenai kejadian ini. Simbol – simbol mulai disebar ke mana mana mulai dari monumen, film, cerita , dan pelajaran dalam buku sejarah sekolah yang menjadi Ingatan jangka panjang masyarakat. Narasi itu berkembang dari mulut ke mulut, masuk di setiap sudut kehidupan dan menjadi ingatan jangka panjang. Selama kita belum bisa memutuskan simbol – simbol itu, seketika hal tersebut akan menjadi ingatan kebencian untuk umat manusia.

K.H Abdulrahman Wahid pernah mencoba untuk mencabut TAP. MPRS no.XXV/1966, namun hal ini ditolak oleh beberapa kelompok yang mengatakan ini berbahaya. Tapi logikanya begini, jika memang orang yang membunuh 7 dewan jendral bersalah dan ada anggota dari Gerwani yang melakukan penganiayaan pada 7 jenderal maka pertanyaannya adalah kenapa kejadian tersebut harus dibayar dengan penumpasan jiwa yang tak bersalah. Bukankah di logika hukum mengatakan bahwa dialah yang bersalah dengan bukti yang cukup maka ialah yang dijatuhi hukuman? Lalu kenapa malah membunuh orang yang tak berdosa dan mengeluarkan kebijakan untuk menghapuskan ajaran marxistme dan leninisme? Apa yang salah dengan konsep marxistme sehingga begitu saja dihapus dari muka bumi Indonesia? Saya sependapat dengan Heru Toni Putra bahwasannya Soeharto terlalu terburu buru untuk mengambil keputusan tanpa menganalisanya secara sehat. Cuba dengan menerapkan konsep marxistme berhasil memerdekan dirinya dari penjajahan dan Venezuelapun mampu menolak untuk tidak mau membayar hutang luar negeri dan membangun kehidupan yang lebih sejahtera.Lalu apa inti dari ajaran Marxisme itu sendiri? Pernahkah kita benar benar membacanya?

Marx melalui bukunya Das Kapital menjelaskan mengenai kapitalisme yang tertuang dalam Materialisme Historis. Seperti yang telah dijelaskan oleh Rudi, masalahnya bertitik tolak pada penghisapan nilai lebih pada perekonomian. Ekonomi menjadi pondasi bawah yang menentukan apa yang menjadi bangunan atas seperti politik, agama, pendidikan, hukum, dan media. Semua diarahkan untuk menjadi ketergantungan. Tingkat akhir dari kapitalisme adalah imperialisme. Imperialisme bersama imperium dan logika kapistalitik menjajah suatu bangsa untuk kemakmuran bangsanya sendiri. Marx memformulasikannya dalam analisa materialisme dialetika historis dan menjabarkannya menjadi dua aspek yaitu materialisme dialetika dan materialisme historis. Marx yang dulunya seorang hegellian mengambil konsep dialetikanya hegel dan mengambil konsep materialismenya ferbauch dan menggabungkannya menjadi sesuatu yang dinamis bahwa segala sesuatu berubah, bergerak, dan berkembang. Terlepas Marx adalah seorang yahudi dan perlu di waspadai. Benar jika segala sesuatu perlu kita waspadai, namun bukankah kita perlu kembali menggali akar waspada itu dan menemukan solusi?

Rusia dan China merupakan salah satu dari sekian banyak yang menerapkan prinsip marxisme dan mengalami kegagalan. Indonesiapun coba menerapkan Marhaenisme yang tertuang lewat trisakti yang disampaikan oleh Soekarno dan juga gagal karena peristiwa 1965. Ernest mandel mencoba menganalisa dari sisi sosiologisnya, David Harvey mencoba menganalisa dari sisi geografis, dan banyak lagi yang mencoba menjelaskan masalah kontemporer pasca fase industrial. Rusia dan China memang gagal dalam menerapkan marxisme, ketika mereka gagal apakah serta merta marxisme yang dipersalahkan? Bagaimana dengan logika liberalistik yang selama ini menindas satu sama lain dengan kekuasaan kapital? Bukannya itu jurang pemisah yang menyebabkan adanya si kaya dan si miskin? Adanya yang tergantung dan menjadi penggantung?

Lenin, Mao, Soekarno, Fidel Castro, Ho Chi Min, dan Hugos Chaves adalah mereka yang mencoba memutus jembatan antara si kaya dan miskin. Mereka mencoba membangun tatanan yang lebih humanis dan manusiawi. Di mana tidak ada penindasan manusia atas manusia lainnya dan penindasan bangsa atas bangsa yang lainnya. Hanya saja, perjuangan tidak akan sampai di situ saja. Segala sesuatu berubah, bergerak dan berkembang begitu juga dengan kemerdekaan, ia senantiasa harus dipertahankan dengan selalu menolak pada setiap bentuk penindasan yang ada.

Menanti Fajar Menyingsing

Pengetahuan dan kekuasaan saling terkait satu sama yang lain. Kita tidak bisa membayangkan bahwa suatu ketika ‘pengetahuan’ tidak lagi bergantung pada ‘kekuasaan’ sebagaimana mustahil ‘pengetahuan’ tidak mengandung ‘kekuasaan’
- Michel Foucault –

Pasca tergulingnya Soekarno dan Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, nalar pendidikan serta merta diubah menjadi nalar yang mendukung pembangunan kapitalistik. Nalar tersebut coba dibangun dalam paradigma Rencana Pembangunan Lima Tahun mulai dari REPELITA I sampai REPELITA VI. Penataran P4 dan metode pelajaran tersentralisasi pusat membuat peserta didik tidak lagi kritis. Program dalam REPELITA membawa bangsa Indonesia kembali menjadi bangsa yang ketergantungan. Kekritisan dibungkam sejak kita berada di dalam perut, kemudian dilanjutkan pada pendidikan nonformal, pendidikan formal dan sampai kita menjadi seseorang yang menerapkan doktrin tersebut pada anak cucu kita. Misalnya saja, anak kecil sudah di didik untuk membeli mainan, tergantung dengan game online yang ditampilkan oleh seperangkat peralatan berkabel dan playstation dan mainan mobil mobilan tanpa mampu untuk menciptakan mainan sendiri. Kemudian di bangku sekolah, kita diajarkan untuk menghafal bukan untuk memahami apa arti dari pelajaran itu. Misalnya di pelajaran kita diminta untuk menghafal nama – nama menteri dan presiden, namun kita tidak pernah diajak untuk memahami apa tugas menteri dan presiden itu sendiri. Kita diajarkan pelajaran “ logika “ dalam pelajaran matematika di SMP dan SMA, namun kita tidak diajarkan untuk mengaplikasikan logika itu dalam kehidupan sehari hari. Kita tahu rumus – rumus fisika, namun tidak pernah memahami bahwa rumus tersebut lahir dari kehidupan sehari hari. Kita tidak diajar sebagai pencipta, namun kita diajar dan dibentuk untuk menjadi pemakai. Misalnya saja, lulusan Sarjana Informatika bekerja di perusahaan asing yang memproduksi chip komputer. Kita hanya sebagai aplikator dan pengguna. Kita bukan dijadikan sebagai bangsa yang pencipta namun sebagai konsumen. Mediapun ikut ambil peran sebagai corong untuk menggaungkan budaya konsumerisme.

Jatuhnya Soeharto dan masuk ke era reformasi, semua berlomba – lomba untuk memperbaiki dunia pendidikan. Mulai dari diadakannya pendidikan kritis, pendidikan alternatif, dan baru – baru ini pendidikan berkarakter. Namun tetap saja, hasil yang di dapat selalu nihil. Begitu juga dengan memasukan pelajaran Marxistme di pelajaran sekolah. Bisa dikatakan banyak dari orang orang Indonesia yang masih terjebak dalam narasi yang diciptakan Soeharto. Kepahitan mengenai anti komunisme dan marxisme masih melekat dalam ingatan masyarakat Indonesia. Memasukan pelajaran Marxistme sama saja dengan memberikan obat pahit kepada seorang anak kecil. Lalu apakah tidak ada cara lain? Saya berfikir, ada cara yang lebih baik untuk bisa melihatnya dengan lebih jernih. Tidak masalah itu pelajaran agama, kewarganegaraan, sains maupun ilmu sosial, yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana memandang gambaran pelajaran dalam kerangka marxisme yang berprinsip pada metode berpikir ilmiah, yang bisa dipertanggung jawabkan berdasarkan hukum – hukum dialetika.

***
tulisan ini masih butuh masukan dan kritikan dari berbagai pihak
penulis