12.10.2011

Relasi Laki – laki dan perempuan di dalam Kampus


Oleh :
Angelique Maria Cuaca
Mahasiswa Psikologi UPI YPTK Padang
Disampaikan pada seminar sehari Aliansi We Can " Stop Kekerasan Pada Perempuan " Desember 2011 di UPI "YPTK"
dengan tema
 “ hidup terhormat tanpa kekerasan terhadap perempuan “


“ Laki – laki dan perempuan sesungguhnya adalah setara. Mereka memiliki sifat, karakter dan kemampuan berbeda yang dibentuk oleh lingkungan. Laki – laki dan perempuan selayaknya menjadi patner kerja bukan rival. Karena laki – laki tak akan mampu hidup tanpa perempuan, dan begitupun perempuan. Jika ditarik ke prinsip sosiologi, laki laki dan perempuan adalah manusia yang saling membutuhkan. “
Getsemani Karo – aktivis perempuan dari Gerakan Rakyat Indonesia -

Relasi antara laki laki dan perempuan

Jika bertumpu pada konsep agama,laki laki dan perempuan merupakan dua makluk berbeda ciptaan Tuhan. Sudah selayaknya mereka saling mengisi dan membantu. Dunia tidak akan berkembang jika hanya di isi oleh lelaki saja tanpa perempuan dan sebaliknya. Jika seorang perempuan mengatakan, saya akan mogok melahirkan maka manusia di dunia akan habis karena tidak ada regenerasi. Begitu juga sebaliknya, jika laki laki ingin menghabisi keseluruh keturunan mereka bisa untuk mogok memberikan benih. 2 hal ini memberikan arti untuk menghidupkan suatu kehidupan, laki laki dan perempuan saling membutuhkan. Laki – laki tidak dapat hidup tanpa perempuan, begitu juga perempuan.

Relasi hubungan laki – laki dan perempuan dalam hubungan masyarakat memiliki kekuatan besar. Laki laki dan perempuan berbagi tugas, bahu membahu dalam menciptakan tatanan sosial yang baik dan sejahtera. Mereka hidup berdampingan dalam bentuk kumpulan keluarga kecil yang kemudian menjadi sebuah masyarakat. Namun, ternyata dalam kumpulan mozaik tersebut terdapat ketimpangan yang mengakibatkan adanya ketidak adilan dalam relasi laki laki dan perempuan.

Di Indonesia sendiri, permasalahan mengenai bentuk ketidak adilan terhadap perempuan sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Suku di Indonesia yang mayoritas menganut sistem patriaki atau yang kita sebut dengan sistem kebapakan meletakan laki – laki di posisi yang menguasai dan perempuan di posisi yang dikuasai. Di suku Jawa Pantura, di dalam keluarga dominasi terlihat dari pihak laki laki dimana seorang kepala keluarga, suami, atau ayah dari anak anak mempunyai kewajiban untuk memenuhi nafkah sedangkan istri lebih dikonsentrasikan pada pekerjaan domestik seperti pengasuhan anak dan mengurus rumah tangga. Pendidikan anak laki laki lebih diutamakan dari pada pendidikan perempuan. Istilah wanita itu sendiri berasal dari bahasa jawa yaitu “wani di tata” yang berarti berani di tata, sedangkan laki laki mendapatkan tempat istimewa untuk menatanya. Suku Banjar di Bali, dalam lingkup sosial bagi seorang laki laki diberi kekuasaan untuk mengambil peran dalam pembuat keputusan, sedangkan perempuan hanya mendapatkan porsi sebagai pelaksana. Konon, katanya laki – laki dianggap lebih berkapasitas dibandingkan perempuan baik dalam relasi keluarga maupun sosial.Dominasi yang seperti inilah yang kemudian menjadi akar dari timbulnya budaya kekerasan.

Dominasi itu semakin menguat pada saat munculnya Orde Baru. Di mana pemimpin perempuan tidak di pilih dari basis masyarakat, tetapi dari jabatan suami. misalnya di PKK. Ibu –ibu yang menjabat di PKK adalah para istri yang suaminya pegawai negeri. Yang perlu di catat, tidak semua perempuan yang memiliki kesadaran untuk berjuang. Mereka mendapatkan posisi hanya karena mereka " ISTRI dari PEGAWAI NEGERI ", bukan karena kemampuannya. Bahkan pada masa ORBA, gaji perempuan dan laki laki dibedakan. Or Ba selalu meneriakan jargon jargon bahwa perempuan adalah ibu yang harus di rumah, mendidik anak, dan lain - lain. Sedangkan laki laki adalah bapak yang harus bertanggung jawab atas semuanya. hal itu dibuktikan ketika Soeharto mengangkat dirinya sebagai BAPAK NEGARA dan istrinya sebagai IBU NEGARA. Ibu Tin ( istri soeharto ) difigurkan sebagai perempuan yang ideal, yang ayu, selalu ada dirumah, menjaga, patuh pada suami dan merawat anak.

Pada saat Orde Lama, Soekarno menunjukan kesetaraan lewat penyamaan gaji pegawai negeri laki laki dan perempuan. Naiknya Tri Murti yang seorang pemimpin perempuan dari kalangan buruh menjadi menteri perburuhan menunjukan bahwa Soekarno melihat perempuan dan laki laki itu setara, baik dalam hasil maupun yang mereka dapatkan.

Minangkabau dan sistem Matrilinealnya

Suku Minangkabau yang menerapkan sistem matrilineal, pada dasarnya meletakkan posisi laki – laki dan perempuan adalah sederajat. Di Minang, perempuan berperan sebagai penjaga harta pusaka seperti rumah gadang, sawah atau harta benda. Sedangkan laki – laki sebagai pengelola harta pusaka. Namun, sistem kekerabatan ini tidak luput dari pola perilaku ketidak adilan. Perempuan memang berperan penjaga kunci harta warisan, namun tidak dalam pengambilan keputusan. Tak menjadi sesuatu yang mengherankan ketika keputusan yang diambil dalam nagari / keluarga sendiri banyak merugikan kepentingan perempuan.

Tradisi pingitan di Minang merupakan suatu bentuk keterikatan perempuan Minang terhadap peran pengelolaan keluarga namun tak leluasa dalam pengaktualisasian diri, menentukan putusan, dan sumbangsih bagi masyarakatnya. Tradisi pingitan dilatar belakangi karena perempuan dianggap sebagai makhluk lemah yang harus dilindungi dan diawasi.

Semakin berkembangnya transformasi ilmu pengetahuan telah membawa perubahan dalam kondisi kehidupan masyarakat Minang. Tradisi pingitan mulai mengalami perenggangan. Peran mamak tidak lagi mampu mengawasi kemenakan. Perempuan Minang yang mulai menggemari kebebasan hidup di luar rumah sehingga menyebabkan asumsi miring bagi mereka karena budaya Minang hari ini masih menyanjung tinggi perempuan yang pandai mengatur rumah dengan baik. Perempuan Minangpun mendapatkan tekanan psikologis dari keluarga.

Kekerasan dalam relasi laki – laki dan perempuan di Kampus

Relasi laki laki dan perempuan yang terbangun dalam lingkungan kampus meliputi persahabatan, teman sekelas, antara dosen dengan mahasiswa, dan yang paling intim, berpacaran. Dalam berpacaran, kebanyakan dari laki laki melakukan kekerasan terhadap perempuan baik kekerasan fisik, maupun kekerasan psikologis dalam bentuk hinaan. Banyak kasus kekerasan yang dialami oleh mahasiswi namun tidak kelihatan karena mereka cenderung menutupinya. Mereka malu mengungkapkannya karena menganggap itu adalah aib bagi mereka. Untuk menghindari kekerasan tersebut, mahasiswi cenderung untuk menuruti apa yang menjadi keinginan pacarnya yang laki – laki. Sedikit dari mereka yang mampu menyuarakan kebebasannya sebagai manusia dalam bentuk ketegasan. Misalnya : “ Meskipun perempuan, saya  tetaplah manusia yang memiliki kesempatan yang sama dengan laki  - laki, Saya akan melaporkan tindak kekerasan yang saya dapat kepada yang berwajib, dsb “

Praktek kekerasan kemudian dapat kita lihat juga dari lingkungan kampus. Praktek tersebut menjelma menjadi bentuk kekerasan psikis/ psikologis. Di kampus UPI YPTK, untuk pemilihan ketua kelas haruslah laki – laki. Perempuan tidak diizinkan untuk menjadi ketua kelas. Kemudian, ketika dalam ruang kuliahpun ada beberapa dosen yang menerapkan peraturan bahwa laki – laki dan perempuan haruslah duduk terpisah. Pertanyaannya kemudian, mengapa harus dipisahkan antara laki – laki dan perempuan? Lalu, bagaimana dengan perempuan yang mampu tapi tak memiliki kesempatan?

Di tilik dari beberapa kasus, ternyata kekerasan tidak terjadi pada perempuan, tapi juga pada laki laki dan sesama perempuan. Tak jarang perempuanpun sering melecehkan perempuan yang lain karena dianggap tidak sepadan misalnya kelompok geng perempuan cantik mencemooh perempuan yang dianggap tidak cantik, perempuan yang kaya kemudian mencemooh perempuan yang miskin. Beberapa kasus menyebutkan juga bahwa laki – laki pun juga mendapatkan kekerasan misalnya ketika dalam pacaran, si perempuan menampar dan mencakar si lelaki karena marah, si perempuan membandingkan pasangannya dengan lelaki lain. Kalau dikaji lebih mendalam lagi sebagai manusia, laki laki dan perempuan memiliki potensi yang sama untuk melakukan tindak kekerasan.

mengapa kekerasan bisa terjadi? Menurut Hobbes dalam teorinya “ Homo Homini Lupus “ yang berarti manusia bisa jadi serigala bagi manusia lainnya mengatakan bahwa secara alamiah manusia punya naluri kekerasan. Segala tindakan manusia mengarah pada pemupukan kekuasaan dan hak milik sehingga akan menjurus pada perang antara semua melawan semua. Naluri untuk menguasai lebih itu kemudian yang mengobarkan semangat untuk melakukan tindak kekerasan, seperti menyakiti, menyerang ataupun merusak.

Pertanyaannya, mengapa hari ini kebanyakan korban kekerasan adalah perempuan dan laki   – laki sebagai pelaku? Dalam kajian psikologi sosial menurut Muhammad Ilham, kekerasan sering timbul dari problem alam bawah sadar. Sistem ketidak adilan selama ini yang terus tumbuh dan mengakar mengakibatkan tindak kekerasan semakin menjadi hal yang lumrah dilakukan bagi pihak yang diuntungkan kepada pihak yang dirugikan. Parahnya lagi, budaya patriaki tidak lagi bersemayam pada beberapa aspek namun sudah menjalar di berbagai aspek salah satunya adalah pendidikan.

Sentralisasi pendidikan yang diberlakukan Orde Baru di mana segala seluruh kegiatan pendidikan diatur oleh pusat baik dalam hal penyeragaman kurikulum, pola pikir, cara sikap dan tindakan siswa ternyata membawa budaya patriaki di dalamnya. Dalam prakteknya, peserta didik laki – laki lebih didahulukan daripada peserta perempuan. Misalnya untuk menjadi ketua kelas, seorang pendidik akan lebih memilih laki laki dan perempuan hanya diberi kesempatan untuk menjadi wakil ketua, meskipun terkadang peserta didik perempuan jauh memiliki kemampuan memimpin dibandingkan laki – laki. Secara psikologis, kondisi ini membuat dominasi lelaki menjadi sebuah kekuasaan legal bagi perempuan. Kekuasaan yang dimiliki laki – laki akhirnya timbul rasa tidak menghargai, menganggap rendah, bahkan melakukan penghinaan terhadap perempuan. Tak heran, jika hari ini banyak kita temukan kasus kekerasan pada perempuan, baik kekerasan fisik saat pacaran, pelecehan seksual dan pemerkosaan, penghinaan serta tekanan psikologis lainnya.  Rasa memiliki kuasa yang sangat besar itulah akhirnya yang menimbulkan tindakan kekerasan.

Laki laki, perempuan, kedudukannya yang setara

Kemudian menjadi sebuah refleksi, bagaimana kedudukan perempuan dan laki – laki itu sebenarnya? Apakah benar laki – laki adalah yang pertama, dan perempuan yang nomor dua? Lalu apa yang harus dilakukan agar laki – laki dan perempuan dapat saling menghargai dan mewujudkan kesetaraan di kehidupan sosial?

Pertama,sesungguhnya yang membedakan laki – laki dan perempuan hanyalah kemauannya dalam berusaha, sedangkan sifat dan karakternya dibentuk oleh lingkungan sekitar. Jika kita katakan perempuanlah yang paling jago memasak, jangan salah. banyak lelaki yang memiliki kemampuan memasak jauh lebih hebat dari perempuan. Lalu kita katakan lagi perempuan itu lembut, lemah gemulai, emosional, egois dan penakut. Namun tak sedikit pula lelaki yang lembut pembawaannya, lemah gemulai, emosional, dan penakut. Kita katakan bahwa laki laki lah yang sanggup mengangkat berat.Tapi tanpa sepengetahuan kita, buruh buruh di pelabuhan bahkan di pabrik tidak hanya laki laki, tapi juga perempuan. Dan mereka memiliki beban kerja yang sama dengan laki laki. 3 contoh di atas bisa kita simpulkan bahwa laki - laki dan perempuan bisa melakukan pekerjaan apa saja, sesuai kemampuan fisik yang mereka bawa sejak lahir.

Kedua, laki laki akan menjadi yang diutamakan ketika ia mampu menjadi yang pertama, ketika ia tidak mampu maka ia tidak akan menjadi yang pertama. Begitupun dengan perempuan, seorang perempuan yang malas tidak akan menjadi yang pertama. Ketika seorang perempuan mau bekerja dan berusaha, ia akan menjadi yang terbaik.

Ketiga, Perempuan dan laki – laki harus saling menghargai peran. Perempuan harus berjuang mendapatkan kesetaraan itu dan laki – laki harus memberi ruang tersebut. Laki – laki harus rela memberikan sedikit keistimewaannya pada perempuan tanpa takut kalah pada perempuan. Laki – laki harus sadar memperlakukan perempuan dengan baik dan benar sesuai kodrat manusia, karena baik laki – laki dan perempuan dilahirkan memiliki kesempatan yang sama untuk hidup, kemudian memiliki hak yang sama untuk mempertahankan hidup, dan memiliki kewajiban yaitu mati. Para pejuang perempuan seperti RA Kartini, Siti Manggopoh, Rohana Kudus dan  Cut Nyak Dien tidak pernah mengatakan bahwa " PEREMPUAN HARUS MENGALAHKAN LAKI LAKI" . Mereka tidak pernah memperjuangkan " lelaki harus tunduk di kaki perempuan " seperti sinetron " Suami Suami takut Istri ". Mereka hanya menginginkan bagaimana perempuan dan laki laki memiliki posisi yang sama dan dapat bekerja sama menurut kemampuan masing masing. Di mana nantinya perempuan dan laki – laki menyadari bahwa mereka bukan rival kerja, melainkan patner , yang saling bahu membahu bekerja untuk suatu tujuan, lalu meninggalkan embel embel " KARENA KAMU PEREMPUAN / KARENA KAMU LAKI LAKI. " itulah makna kesetaraan yang sesungguhnya.

***