12.20.2014

Kawanku, berjuang adalah keharusan!

Ada Orang yang Berjuang Satu Hari,Itu Baik! Ada Orang yang Berjuang Satu Tahun,Itu Lebih Baik! Ada Lagi yang Berjuang Bertahun – Tahun,Itu Sangat Baik Sekali! Tetapi Ada lagi yang Berjuang Seumur Hidup,Itulah yang Amat Dibutuhkan!!  - Bertolt Brecht- ( Buku Pantha Rei – Tantiana Lukman )
Kawanku, barangkali kau bosan dengan segala rutinitas kita. Dengan segala persoalan yang datang tanpa henti. Semua bergumul di dalam kepalamu, menyangkut satu sama lain dan menggumpal layaknya benang kusut. Seolah kerja – kerja yang kita lalui hanyalah sia – sia. Kau merasa begitu gagal dan ingin lari dari segala persoalan itu.

Barangkali sekarang, kau sedang membaringkan badan di atas kasur. Mengatupkan mata, meskipun nyatanya persoalan itu masih menari – nari di dalam kepalamu. Tarian yang menuntut kita untuk menyelesaikannya segera. Tarian yang semakin lama makin riuh dan membuat kepalamu seakan pecah oleh gerakannya.

Barangkali juga kau sedang meneteskan air mata. Air yang lahir dari kegetiran serta kepedihan kita menghadapi segalanya. Seolah hanya kita yang memikirkan semua ini, sedangkan yang lain hanya asik bercengkrama seolah hidup ini sedang baik baik saja. Air matamu telah cukup penuh membuat kuyup sarung bantal, dan kau hanya bisa tersedu. Barangkali, hal itu yang menurutmu baik untuk dilakukan saat ini.

Tapi, Ketahuilah kawanku. Keadaan yang kita rasakan ini tidaklah serta merta terjadi begitu saja. Ada api yang kemudian membuat asap itu mengepul. Ada penyebab dibalik semua kegelisahan, yang membuncah menjadi sebuah kepedihan yang menjemukan. Kehidupan ini tidaklah dalam keadaan baik – baik saja. Dan kita menyadari itu..!

Akupun tahu, kita sudah berusaha sebaik – baiknya. Kita membaca, kita belajar , kita berjuang agar orang lain mengerti hal itu. Kutahu pasti usaha itu! Kita belajar memperbaiki kebiasaan – kebiasaan buruk, kita belajar untuk memahami orang – orang di sekitar kita, kita belajar agar bisa berjuang dengan baik bersama kawan – kawan.  Sekali lagi kawan, aku hormati kerja keras kita.

Kawanku, kita memang harus menyeka mata kita yang perih akibat asap itu. Sembari terus mencari dari mana asal titik api tersebut. Kehidupan yang sedang tidak baik – baik saja ini lahir dari biang keladi penghisapan dan penindasan. Biang ini sudah ada sejak berabad – abad lamanya. Ia terus bermetamorfosis, hingga pada titik puncaknya. Ia sudah menghisap nadi dari ibu pertiwi, layaknya perasan jeruk pada alat perasan. Ia mengeruk emas, timah, minyak, segala sesuatu yang ada dikandungan ibu pertiwi maupun apa yang tumbuh di atasnya. Ia menjadikan anak – anak ibu pertiwi sebagai tenaga yang dijual dengan harga murah. Bahkan, ia mengambil beberapa dari anak – anak ibu pertiwi, agar bisa menjadi bonekanya. Serta menjerat ibu pertiwi dalam lilitan monopoli pasar dan hutang. Dialah Imperialisme..!

Layaknya parasit yang perlu inangnya, begitupun imperialisme. Maka ia tidak serta merta menghancurkan feodalisme, agar ia sah sebagai pemilik tanah yang jumlahnya tidak lagi cukup dihitung oleh jarimu. Ia membaginya sedikit pada bonekanya, agar bisa melindunginya lewat legalitas perundang – undangan beserta angkatan bersenjata. Bonekanya yang hari ini kita sebut Kapitalis Birokrat.

Imperialisme dan Kapitalisme Birokrat inilah yang hari ini berseluncur di papan roda feodalisme. Ia yang menyebabkan upah buruh di pangkas. Ia juga yang menyebabkan para petani kehilangan tanahnya. Ia juga yang menyebabkan anak muda tidak bisa mengakses pendidikan dan kehilangan masa depannya. Ia juga yang merekayasa lahirnya para teknokrat yang menciptakan karya, karsa, dan cipta untuk kepentingannya. Ia yang menyebabkan BBM naik, upah murah, perampasan lahan, pengangguran, biaya bahan pokok mahal dan segala kekejian yang ada.

Selain itu, imperialisme juga belajar dari gerakan rakyat yang selama ini memeranginya. Ia tahu, jika rakyat tahu apa yang menyebabkan asap mengepul, maka habis sudahlah ia.! Ia tahu, jika kebudayaan rakyat jadi maju, maka rakyatlah yang akan habis – habis menguliti kepala hingga kakinya. Karenanya, ia bekerja sama dengan bonekanya untuk melahirkan sebuah sistem pendidikan yang sulit dijangkau oleh banyak orang. Ia juga sebagai biang menciptakan berbagai bentuk bahan ajar yang membuat orang menjadi saling menginjak, saling berlari dan menyelamatkan diri sendiri. Ia jugalah yang terus berupaya menciptakan kesadaran palsu, agar setiap orang merasa baik – baik saja meskipun sudah diperas hingga tak berdarah.

Ia jugalah yang menyebabkan kita diancam dosen ketika sedikit kritis soal mata kuliah. Ia jugalah yang menyebabkan kita terancam di Drop Out karena menuntut fasilitas kampus. Ia jugalah yang membuat kita tidak bisa melanjutkan perkuliahan karena biaya kuliah yang makin mahal. Ia jugalah yang membuat kita merasa menjadi gila di tengah mahasiswa yang hari ini merasa baik – baik saja. Ia juga yang mematahkan duakan semangat kita dan mencoba menggiring kita ke dalam jurang keputus asaan. Tujuannya agar kita diam dan jenuh seperti sekarang ini. Bahkan ia akan bertepuk tangan, ketika kita lari dan mencoba menerima bahwa “Hidup ini baik – baik saja.”

Kawanku, ia akan terus berupaya untuk menghancurkan kita. Iapun sedang krisis. Krisis akut dalam tubuhnya itu membuatnya semakin buas untuk menghisap dan menindas kita. Karenanya, kau jangan pernah sekali – kali merasa sendiri kawan. Di seluruh daerah, bahkan penjuru dunia, banyak dari mereka yang melakukan hal yang serupa dengan kita. Mereka juga merasakan kepedihan, mereka juga merasakan kekecewaan, mereka juga merasakan berbagai persoalan datang terus menerus tanpa henti. Dan mereka juga berjuang! Dan kita harus mengetahui bahwa api dari asap itu adalah Imperialisme. Maka kita akan memeranginya tanpa ampun, tanpa ada sedikit belas kasihan. Pastinya kita tidak bisa sendiri, kawan. Kita butuh banyak kawan – kawan dan kita butuh organisasi.

Kawanku, hapuslah air matamu. Sudahin risau dan keputusasaan itu. Jangan sampai kau berlari meninggalkan jalan ini. Kau hanya lelah kawan. Kita tidak kalah. Kegagalan menunjukan bahwa kita telah berusaha. Kegagalan bukan berarti apa yang kita kerjakan sia – sia. Kegagalan menjadi arti bahwa kita harus terus berjuang, berjuang hingga menang.

Jika kau katakan hidup adalah perjuangan, maka berjuang adalah keharusan kawan. Pengalaman telah membuktikan, bahwa sejak zaman perbudakan hingga hari ini selalu ada yang dihasilkan dalam setiap periode pergerakan besar. Maka menjadi tugas dan tanggung jawab kita sebagai anak zaman, bahwa kita harus berjuang. Jangan sekali – kali kita meragukannya. Cita – cita tentang hari depan tanpa penindasan dan penghisapan adalah benar adanya.

Jangan pernah biarkan dirimu termangu sendiri. Pecahkan seluruh persoalan bersamaku serta kawan kawan yang lain. Senantiasalah belajar di tengah – tengah orang banyak dan selalu belajar dari kesalahan serta kekurangan kita . Janganlah sesekali kita menyalahkan seseorang karena ketidaktahuannya. Kerjakan segala pekerjaan bersama – sama, bagilah pekerjaan sesuai kemampuan, dan lakukanlah penilaian setelah pekerjaan itu berakhir. Apresiasi setiap capaian dan perbaiki setiap kelemahan. Dan juga, jagalah kawan kita layaknya seperti menjaga batang tubuh kita. Karena berjuang tanpa kawan adalah liar. Maka kita harus memperbanyak kawan. Karena berjuang bersama adalah keharusan.

Angelique Maria Cuaca
Padang, 21 Desember 2014
4:52

9.17.2014

Menjelang Senja

"Rayu, bicara tanah bagi petani sama halnya bicara udara bagi manusia. Manusia tidak bisa hidup tanpa udara. Begitu juga petani. Mereka tidak bisa hidup tanpa tanah. Dari tanah, mereka menanam dan menjual hasilnya ke pasar. Semuanya semata mata hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolah anaknya. Coba dibayangkan bila tanah itu tidak ada, maka habislah kehidupan petani beserta anak - anaknya, " jelas Dayat sambil tersenyum.

Sore tadi di caffe dekat kampus Ababil, aku beserta Dayat dan Rayu memutuskan rehat di sana sembari menikmati senja. Kami memilih duduk di lantai dua agar bisa menikmati pemandangan. Awalnya kami di meja nomor 8. Kemudian pindah ke meja nomor 10. Alasannya pertama, karena lebih dekat dengan jendela dan bisa melihat pemandangan. Kedua, karena pelanggan yang sebelumnya duduk di sana telah beranjak dari meja itu.

Suasana yang lengkap. Sepoi angin yang masuk lewat jendela membuat kami makin nyaman duduk di sana. Di tambah lagi alunan musik jazz dan sebuah TV layar lebar di tengah ruangannya. Hiburan yang menarik di kala sehabis pulang kuliah. Kami duduk sembari menikmati pesanan masing masing. Aku dengan Kopi miloku, Dayat dengan Lemon tea nya, dan Rayu dengan seporsi mie pakai nasi yang ditemani  segelas teh manis hangat.

Setengah jam berlalu, pandanganku tertuju pada TV layar lebar. Seorang pembawa berita, ia perempuan, memberitakan tentang upaya petani di Matar menolak penggusuran yang dieksekusi oleh pihak kepolisian. Seorang ibu menangis berupaya menolak tindakan tersebut. Namun aparat seolah tidak peduli dan mencoba mengusir warga dari lokasi lahan. Aku melemparkan pandanganku ke Dayat. 

" Yad, lihat itu. Aku sedih melihatnya," ujarku. 
" Iya, ngie. Aku juga sedih. Kenapa mereka tega bertindak seperti itu ya? "
" Entahlah Yad.. " 

Kami melanjutkan minum dan mulai larut dengan obrolan yang lain. Sejenak melupakan berita yang tadi. Seolah ada luka yang telah tertoreh dan kami berusaha untuk tidak menyadarinya. Kami mulai bercerita soal sawah. Jika diintip dari jendela, maka akan terlihat 2 petak sawah kecil yang dikelilingi oleh beton. Di depannya jalan aspal, di kiri kanan serta belakang adalah perumahan.

" Yad, papaku pernah cerita. Dulu di jalan Sawahan itu banyak sekali sawah. Ia bersama temannya sering main ke sana. Namun, tempat itu kini telah menjadi perumahan dan kantor kantor. Sama seperti dua petak sawah di sana," ceritaku sambil menunjuk ke luar jendela. Jalan Sawahan kira kira berjarak 1 kilometer dari kampus Ababil.

" Iya ya. Nama jalannya Sawahan, tapi sudah tidak ada sawah lagi," ujar Dayat sembari menyantap mie-nya Rayu. Gadis berambut ikal panjang itu sepertinya sudah kekenyangan. Aku ikut ambil bagian. Ikut menyantap mie.

" Sepertinya seru jika di sawah. Aku pernah lihat lukisan anak petani yang sedang duduk di atas punggung kerbau sembari meniup seruling. Aku membayangkan anak petani itu adalah aku," ujarku dengan mulut yang masih mengunyah mie.
" Sepertinya menarik. Ayahku punya sawah di Bukit. Jika mau, kita bisa ke sana lain waktu," ajak Dayat.
" Ada kerbaunya?" tanyaku.
" Ada. Jika mau, kita bisa naik di atasnya sembari meniup seruling," jawab Dayat.
" Iya, nanti kita dudukan Rayu di atasnya," kelakarku sembari melemparkan gulungan tisu ke Rayu.
" Masa aku yang naik kerbaunya? Aku ga mau, Anggie," protes Rayu.
" Tak apa, Yu. Nanti sekalian bisa makan kutunya kerbau," Dayat ikut bergurau.
" Enggak. Emang aku burung jalak?" Rayu mulai cemberut.
Aku dan Dayat tertawa melihat wajah mungil Rayu yang merah karena sebal. " Kita cuma bercanda kok," senyum Dayat.

*

Kira kira 30 menit setelahnya, mie serta nasi nya Rayu telah ludes oleh aku dan Dayat.  Mataku kembali tertuju pada TV layar lebar tadi. Pembawa acara mengabarkan sebuah kasus perampasan lahan lagi. Kali ini rumah yang dianggap liar di Swarna Dwipa digusur oleh PT Kereta Api milik Negara. Kepala PT itu dengan arogan menyatakan bahwa tanah itu adalah milik negara dan berhak diambil sewaktu - waktu. Sekali lagi, aparat keamanan bertindak menghalau warga yang mencoba mempertahankan rumahnya. Seorang ibu menangis dan berteriak, menyumpahi si penggusur. Tapi apa daya, si penggusur tetap meluluh lantak bangunan dengan traktor alat berat. Warga berupaya melawan, ibu - ibu menangis dan anak anak berlarian memeluk ibunya. Mereka juga menangis, karena ibunya menangis. Dayat ternyata juga seksama memperhatikan berita tadi.

" Kasus perampasan lahan terjadi di mana - mana ya Yad. Kemarin, sewaktu aku nonton berita di rumahpun juga begitu. Hanya tempat dan pelakunya saja yang beda. Kadang perusahaan perkebunan, kadang perusahaan tambang, dan kadang negara melalui badan usahanya. Kesamaannya ya sama - sama warga yang jadi korban, seringnya petani," ceritaku. Dayat terdiam. Ia menatap ke luar jendela dan kedua alisnya saling bertaut satu sama lain.

" Aku baru ingat. Aku pernah membaca berita online tentang kasus perampasan lahan di negara kita. Dari tahun ke tahun makin meningkat. Bahkan menyebabkan banyak korban serta kematian akibat tertembak di lahan, " ujar Dayat Pelan.

Akupun terdiam sejenak dan menelan ludah. " Lalu mengapa petani itu rela mati hanya untuk tanah saja?" tanya Rayu. Rayu yang awalnya tidak tertarik dengan obrolan kami ternyata ikut dalam perbincangan aku dan Dayat.

"Rayu, bicara tanah bagi petani sama halnya bicara udara bagi manusia. Manusia tidak bisa hidup tanpa udara. Begitu juga petani. Mereka tidak bisa hidup tanpa tanah. Dari tanah, mereka menanam dan menjual hasilnya ke pasar. Semuanya semata mata hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolah anaknya. Coba dibayangkan bila tanah itu tidak ada, maka habislah kehidupan petani beserta anak - anaknya, " jelas Dayat sambil tersenyum. " Begitu ya," ujar Rayu sembari menganggukan kepalanya.

" Ngomong - ngomong, seminggu lagi bertepatan dengan Hari Tani Nasional. Apa yang akan kita lakukan?," aku melemparkan pertanyaan ke teman - teman. Rayu dan Dayat saling berpandangan.
" Aku lihat selebaran yang ditempel di mading dekat gedung A. Kalau tidak salah isinya tentang undangan diskusi umum tentang Hari Tani Nasional yang diadakan salah satu organisasi pemuda mahasiswa. Temanya : Mengecam 9 tahun Rezim Penguasa, Pemuda Mahasiswa Bangkit dan Berjuang Bersama Kaum Tani ," ujar Rayu.
"Waw... Temanya keren. Kapan acaranya?," tanyaku.
" Em, kalau tidak salah besok," jelas Rayu sembari mengingat - ngingat.
" Siapa yang kira - kira bisa kita hubungi?" tanya Dayat.
" Em, tadi kalau tidak salah kontak personnya si Agus, teman lokal kita," jawab Ayu.
" Agus??," ucap aku dan Dayat serempak.
"Iya. Si Agus. Memangnya kenapa?," tanya Rayu.

" Dia pernah mengajakku dan Dayat untuk ikut bergabung bersama ia dan teman - temannya. Tapi saat itu aku tidak terlalu merespon," ujarku.
" Hahahaha.. Akupun begitu. Tapi sudah sedikit tertarik karena pernah mendengar cerita Agus soal program 3 sama ke desa. Selain itu pernah melihat Agus dan teman temannya aksi di depan kampus teriak : Hentikan perampasan tanah, upah, kerja. Dulunya hanya sekedar tertarik, belum ada niat untuk bergabung," jelas Dayat.
"Apa itu 3 sama?," tanya Rayu lagi.
" Sama makan, sama tinggal, sama kerja," jawab Dayat.
" Lalu, apa kau mulai berniat untuk bergabung bersama mereka?," tanyaku.
" Iya. Aku tertarik. Aku mulai lebih mengerti tentang mereka karena obrolan kita tadi," jawab Dayat sambil tersipu.
" Aku juga mau bergabung. Lalu bagaimana denganmu?," tanyaku pada Rayu.
" Aku juga dong. Kalau kalian ikut, aku juga," jawab Rayu mantap.

Kami tak sadar kalau senja telah berlalu dan malam mulai mengganti kehadirannya. Aku melihat langit yang sudah menghitam dari balik jendela.
" Sepertinya kita harus pulang. Sudah jam 8 malam," ujarku sambil menatap jam tangan besi yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.
" Yuk, lalu siapa yang akan menghubungi Agus?," tanya Dayat.
" Aku saja," Rayu dengan cepat menjawab pertanyaan Dayat. Rayu sepertinya begitu bersemangat untuk ikut di diskusi umum itu besok.
" Baiklah, berarti kita tunggu kabar darimu Yu," ujarku dan Dayat serempak.

Kami menuju kasir dan segera pulang ke kos masing - masing. Berharap besok kami dapat terlibat lebih banyak untuk Hari Tani Nasional dan hari hari berikutnya.

-----------------
* Like
nb : terimakasih untuk Ayu dan Ryan. Tulisan ini terinsiprasi dari cerita ringan kita di cafe kemarin. 

8.20.2014

Memecah sunyi

<1>
Temaram menghantam langit menghitam
Kesaksian dibungkam
Wajah kusam memaki kelam
Menyobek heningnya malam

Bridge:
Ku langkahkan kaki, kau lontarkan maki
Ku nyanyikan lagi, tentang sombongnya hari


Reff:
masihkah ada cinta di nurani
masihkan ada bahagia di negeri ini
masihkah ada cinta di nurani
masihkan ada bahagia di negeri ini

<2>
di bawah angkuh kuasa tiran
terjejal beribu maki
kenyataan dikaburkan
ceritakan keangkuhan negeri

Bridge:
Ku langkahkan kaki, kau lontarkan maki
Ku nyanyikan lagi, tentang angkuhnya negeri

masihkah ada cinta di nurani
masihkan ada bahagia di negeri ini
yakinlah ada cinta di nurani
yakinlah  ada bahagia di negeri ini

Bridge:
Ku langkahkan kaki, kau lontarkan maki
Ku nyanyikan lagi,  memecah sunyi

-------------
karya : Wins
Yogyakarta, 29-07-2014

Catatan : Tentang cinta dan bahagia,
Terimakasih untuk sahabat, saudara, dan kawan terbaik yang sudah menciptakan lirik serta untaian nada yang dikemas seapik ini. semoga setiap derap langkah kita mampu memecah kesunyian akibat ilusi
yang dibuat oleh musuh sejati rakyat di negeri ini.

7.22.2014

Keadilan di Negeri SJSF

Aku melihat banyak air mata di negeri ini. Air mata yang seolah sudah menjadi hal biasa. Kadang aku ingin memaki, memaki dan terus memaki. Namun apalah daya, makiku kerap hanya membentur dinding penyumbat telinga keserakahan. aku hanyalah seonggok pecundang berkalang duka di negeri usang, karena aku tak pernah benar-benar menjadi bagian yang nyata di negeri ini, wujud nyata dari namaku sendiri: Keadilan. Melihat kebahagiaan segelintir orang-orang yang di atas, seolah-olah melihat setumpukan kezaliman di atas duka sang jelata.

Aku adalah Keadilan, ya aku masih hidup di negeri ini, tapi aku seringkali diperalat oleh Keserakahan. Dengan Mengatasnamakanku dia dengan sengaja mencabik-cabik nuraniku. seperti tak berharga, aku pun kerap merangkak di jurang ketimpangan, terlempar jauh dan sebisa mungkin mereka tak ingin melihatku. Ya, begitulah tabiatnya Keserakahan.

Aku berharap tidak diperalat keserakahan. Aku tidak masalah jika digunakan sebagai alat, asalkan untuk kesejahteraan orang banyak. Bukan untuk segelintir orang yang mengatasnamakan orang banyak, namun hanya memelihara perut buncit mereka yang bersembunyi di balik kemeja klimis dan dasi bermerek mahal. Mereka yang duduk di bangku singgasana dan menjadi pengabdi setia pemodal berambut pirang emas. Mereka yang menjadi pengabdi tuan keserakahan taraf internasional.

Sebelumnya aku dielu – elukan banyak orang. Aku menjadi harapan bagi mereka dalam berjuang. Karena tak ada satupun manusia yang ingin ditindas, meskipun ada dari mereka yang ingin menjadi penindas. Menghamba pada keserakahan demi memuaskan hasrat duniawinya. Untuk sekedar hidup nyaman dan bahagia diatas penderitaan manusia yang lainnya.

Dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, aku  menjadi cita - cita utama bagi rakyat Indonesia untuk merdeka dari belenggu kolonialisme dan feodalisme. Aku berada dalam hati setiap orang, dari suku maupun  ras apapun, dari keyakinan akan Tuhan hingga Dewa bagi bangsa di sebuah negeri maupun antar negeri.

Namun dibalik air mata, aku melihat masih ada mereka yang mencintaiku dengan tulus. Mereka meletakanku dalam  hati nurani terdalam dan menjadikan ku alasan untuk berbuat kebajikan. Merekalah yang membuat keberadaanku berharga. Mereka menghidupkanku dalam gerak dan langkah  nyata. Bahkan mengajak manusia yang lain untuk kembali memurnikan tujuanku ada, menggalang solidaritas atas namaku untuk menyelamatkan umat manusia.

Mereka rela bertarung dengan tuan keserakahan dan  hamba – hambanya. Mereka menjadikanku hal yang luar biasa, di tengah masih  banyak yang mencederaiku di negeri ini, Negeri setengah Jajahan Setengah Feodal. Mereka membawaku berjalan, meniti garis perjuangan demokrasi nasional. Jalan keluar yang kongkrit untuk mengusir para investor asing yang sudah bercokol di negeri ini, melawan rezim penguasa yang fasis dan anti rakyat, negara asing yang juga menjadi kaki tangan si tuan keserakahan.

Mereka hidup di negeri ini. Ya, mereka memberiku  harapan baru bahwa aku dapat terus hidup. Meskipun ditengah tantangan yang mendera, mereka tetap pantang menyerah. Mereka adalah orang yang mau menyerahkan jiwa bahkan raga untuk itu. Mereka menggalang kekuatan dari berbagai sektor mulai dari petani di lahan pertanian, buruh di perkebunan, pabrik maupun yang bekerja di luar negeri. Mereka juga menggalang para perempuan yang mengalami penindasan berlapis karena keserakahan, pemuda mahasiswa di tengah ancaman putus sekolah dan pengangguran, serta kaum miskin kota yang digusur karena hamba keserakahan. Tidak hanya itu, merekpun menggalang kekuatan dengan orang di seluruh negeri di dunia untuk melawan tuan keserakahan berserta hamba – hambanya.

Ya, mereka orang yang ditakuti oleh tuan  keserakahan. Hamba keserakahan  itu berupaya untuk membumi hanguskan  mereka. Namun atas namaku, mereka bertahan.  Kecintaan  mereka padaku sungguh luar biasa. Bahkan  ketika kondisi di negeri ini makin memanas oleh pemilihan hamba keserakahan. Sehari lagi, sebelum penentuan hamba siapa yang akan  naik dan memimpin negeri ini.

“ Win, hari ini ada pertemuan di Aliansi kota pelajar untuk membahas soal penolakan calon penguasa fasis dan anti rakyat, “ ujar Erwan mengingatkan. Erwan adalah seorang yang mencintai keadilan. Erwin adalah saudara kembarnya, yang bersama – sama dengannya selama lebih dari 7 tahun sejak mereka mulai aktif di organisasi mahasiswa untuk berjuang melawan keserakahan.

“ Iya, Wan. Hampir saja aku lupa. Siapa saja yang hadir nanti ?, “ tanya Erwin sambil menyisir rambut panjangnya.

“ Banyak, dari perwakilan petani, buruh, mahasiswa, perempuan, dan perwakilan organisasi buruh migran yang ada di kota,” jelas Erwan. Erwan sibuk mengaransemen lagu “tanah untuk rakyat”, yang rencananya akan dibawa pada pertemuan nanti. Ya, selepas dari mahasiswa Erwan dan Erwin bergerak pada gerakan kebudayaan, aktif dalam sebuah band progresif yang mengambil peran untuk perlawanan budaya keserakahan di negeri ini.

“ Seni Perlawanan Oleh rakyat,” ujar Erwin. Erwin sibuk menarikan pensilnya ke atas karton putih. “ Poster ini akan kita bawa saat pertemuan nanti,” Erwin melihatkan karyanya pada Erwan. Karton itu bergambar satu kelompok band  berserta perwakilan sektor rakyat dengan tulisan “Lawan Capres fasis dan anti rakyat, upah tanah kerja adalah keharusan. “ bagaimana, bagus tidak? “, tanya Erwin.

Erwan tersenyum, “ Ya, bagus sekali. Sekarang, coba nyanyikan lagu ini. Dengan aransement reggae, sepertinya menarik jika kamu  menyanyikan ini,” Erwan menyodorkan kertas berisikan partitur rangkaian not balok. Erwin mengambil kertas itu dan menfokuskan pikiran pada isi kertas itu. Tak sampai lima menit, Erwin tersenyum dan mengancungkan jempol pada Erwan.

Tak lama, coker yang  merupakan basesampnya band mereka dialuni oleh senandung keadilan. Coker merupakan nama kos – kosan Erwan Erwin, dan  nama tersebut atas kesepakatan penghuni kos. Coker kepanjangan dari Cowok kurus dan kerempeng, kalau di serempetkan bisa dibilang cowok keren.

*

“ Tahun ini merupakan tahun politik yang panas. Juga menjadi penanda bahwa ditengah pemilihan penguasa, penderitaan rakyat terus bertambah, “ ujar Wahyu, salah satu pimpinan organisasi mahasiswadan  koordinator aliansi kota saat pertemuan aliansi kota. Pertemuan tersebut diadakan di salah satu sekretariat organisasi mahasiswa kota.

Pertemuan  tersebut dihadiri oleh puluhan aktivis yang berasal dari berbagai sektor dan kalangan. Ruangan ukuran 8 x 8 meter, dengan papan tulis ditengahnya semakin dipenuhi oleh semangat membara para anak manusia memperjuangkan keadilan.

Sugi, salah satu aktivis buruh di kota juga menimpali, “ Upah buruhpun kian dipangkas, kriminalisasi pada perjuangan buruh dan pemberangusan serikat buruh terus marak terjadi. Tak satupun dari mereka calon penguasa itu yang serius untuk menyelesaikan persoalan buruh. Bahkan  mereka mengatas namakan keadilan. Keadilan  macam apa yang mereka maksudkan? “

“ Bahkan ditengah pemilihan  mereka, begitu banyak kasus perampasan lahan dan kriminalisasi petani. Tak terhitung lagi sudah berapa banyak petani yang jadi korban kebiadaban mereka dan kroni - kroninya,” ujar Busu, aktivis tani daerah ikut bersuara.

“ Apalagi pemuda mahasiswa. Mereka dan kroni – kroninya telah menciptakan liberalisasi pendidikan  yang berujung pada mahalnya biaya pendidikan. Banyak pemuda yang tidak bisa bersekolah, putus sekolah maupun kuliah. Bahkan parahnya pendidikan hari ini sengaja mereka siapkan untuk menjadi budak bagi tuan dan hamba – hamba keserakahan,” ujar Widia, gadis manis berhijab, salah seorang aktivis mahasiswa kota.

Ve yang merupakan aktivis buruh migran juga menambahkan, persoalan yang terjadi di lahan pertanian dan pendidikan menyebabkan banyaknya rakyat yang harus mendulang batu di negeri orang. Pastinya para pendulang itu tidak mendapatkan jaminan apa apa dari negara, bahkan mereka dijebak dalam kedok kesejahteraan, padahal penguasa yang sebelumnya hanya ingin mendulang keuntungan dengan menjual rakyat.

Erwan, sebagai salah satu aktivis seni progresif menambahkan, “ bahkan di sektor kebudayaanpun , mereka jelas akan  membawa budaya negeri ini menuju keterbelakangan akut. Hal itu terlihat dari praktek mereka menghisap dan menindas segala sektor. Maka corong – corong kebudayaan, mereka gunakan untuk mengilusi rakyat akan keadilan semu. ” Erwin mengangguk setuju dengan pernyataan kawan – kawannya.

“ Memilih calon penguasa hari ini ibaratnya memilih harimau dan serigala ditengah kawanan domba. Kedua memiliki karakter fasis dan anti rakyat. Yang satu bukan pilihan, yang satu lagipun bukan solusi. Kita harus tetap menyuarakan bahwa kita menolak calon penguasa yang fasis dan anti rakyat,” ujar Erwin.

“ Saya rasa ini sudah mengerucut, apakah kita semua sepakat untuk melakukan aksi ? Kita suarakan tentang calon penguasa fasis dan anti rakyat, untuk menyadarkan rakyat tentang siapa calon penguasa yang mengaku sebagai pemimpin rakyat! , “ Wahyu segera membawa forum ke inti pertemuan.

“ Ya, kita sepakat untuk turun aksi,” seru semua peserta pertemuan serempak.

Wahyu segera merespon cepat dan mengkonsolidasikan peserta pertemuan dalam sebuah perangkat aksi. “ Aku sudah menyiapkan poster untuk aksi,” Erwin mengeluarkan selembar poster besar bergambar perjuangan rakyat.

Erwanpun menambahkan, “ Saya sudah siap dengan aransemen lagu yang bisa kita bawakan pada saat aksi nanti. “

Wahyu menanggapi, “ Luar biasa, lalu bagaimana dengan kawan – kawan yang lain? “

Satu persatu peserta aksi mengajukan diri untuk mengambil peran. Widya berperan untuk pembuatan pamplet dan pers rilis untuk aksi. Busu mengambil peran menghubungi kontak media, Sugi berperan untuk menyiapkan teaterikal, dan peserta lainnya ikut mengambil peran yang lainnya.

“ Baiklah, lalu di mana lokasi kita melakukan aksi ? “ tanya Wahyu lagi.

Widya segera menjawab, “ kita berkumpul di dekat pasar rakyat saja. Dari sana kita long march menuju kantor penguasa daerah dan kantor penyelenggaran pemilihan penguasa fasis anti rakyat tingkat daerah. “

Serempak peserta pertemuan berseru, “ Setuju..!! “

“ Baiklah, kalau begitu malam ini kita akan menyiapkan seluruh keperluan aksi. Selain itu, kawan – kawan perwakilan  masing – masing bisa segera mengkonsolidasi massa di basis masing – masing. Saya yakin ini sudah menjadi pembahasan  kawan – kawan di basis masing – masing. Sedikit informasi, kawan – kawan kita di daerah  lain juga sedang mempersiapkan hal yang sama. Jadi kita semua harus satu pandangan, satu gerak. Lawan penindasan dan keserakahan. Mari tegakan keadilan,” ujar Wahyu sebelum mengakhiri pertemuan.

“ Sepakat. Hidup rakyat, Jayalah perjuangan massa,” seru peserta pertemuan.

Malamnya, sekretariat mahasiswa kota disibukan oleh aktivitas perangkat aksi untuk mempersiapkan aksi besok. Erwin sibuk mewarnai posternya dengan cat minyak yang telah dibelinya, sedangkan Erwan sibuk dengan gitarnya untuk melatih lagi lagu yang sudah diaransementnya.

**

“ Imperialisme… Hancurkan..! Feodalisme… Musnahkan..! Kapitalis Birokrat.. Musuh rakyat..! Resist Resist USA Imperialist, number one terorits..!”, elu peserta aksi yang berjumlah seribuan. Peserta aksi dengan berbagai poster penolakan calon penguasa fasis anti rakyat tersebut sudah berada di pasar rakyat sejak pukul 8 pagi. Para peserta aksi terpimpin oleh Wahyu yang memegang kendali sebagai koordinator aksi.

Peserta aksi longmarch menuju kantor penguasa daerah dan terakhir berhenti di kantor penyelenggara pemilihan calon penguasa fasis anti rakyat. Erwan bersama band progresifnya membawakan lagu “ Tanah untuk Rakyat” yang sudah diaransemennya di atas mobil orasi yang sudah dipersiapkan oleh perangkat aksi. Poster Erwin di bawa oleh beberapa massa aksi dan diancungkan tinggi tinggi ke atas.

“ Hari ini adalah  penentuan bagi calon penguasa fasis anti rakyat untuk menjadi rezim boneka bagi imperialisme. Kita menolak calon penguasa fasis anti rakyat. Tidak ada pembebasan rakyat tanpa adanya reforma agraria sejati. Tidak ada pembebasan jika penindasan pada buruh masih saja terjadi. Tidak ada keadilan jika pemuda mahasiswa tidak mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak. Tidak ada kesejahteraan jika kaum miskin kota digusur dan perempuan masih saja ditindas. Dan tidak ada kedua dari calon penguasa itu yang serius dalam menyelesaikan persoalan ini!”, seru Wahyu dalam orasinya.

Aksi berlangsung hingga pukul 12 siang dan diakhiri oleh orasi kebudayaan yang dibawakan oleh Erwin dan band progresifnya, “ Keadilan tidaklah jatuh dari langit. Keadilan ada jika kita mau merebutnya dari keserakahan. Keserakahan yang dihambai oleh penguasa telah mencederai keadilan. Mereka bersembunyi dibalik jargon keadilan semu. Hari ini bukanlah akhir, namun adalah proses. Bahwa keadilan akan terus kita tegakan, sampai kemenangan rakyat terwujud. Jayalah perjuangan rakyat!”

Setelahnya, seluruh peserta aksi berbaris rapi menuju alun – alun kota dan melakukan evaluasi atas aksi tadi. Malam nya, para penyelenggara pemilihan calon penguasa fasis anti rakyat tingkat negeri mengumumkan siapa yang berhasil meraih tampuk hamba keserakahan. Ya, perjuangan rakyat belum berakhir. Perjuangan tidak berakhir sampai di sini. Keadilan akan menjadi penerang bagi pejuang rakyat yang meniti di jalan perjuangan demokrasi nasional. Bahwa rakyat harus terus berhimpun, menggalang kekuatan, dan bersatu melawan penindasan. 

oleh : Like

1.20.2014

Penjualan Pernak-Pernik Imlek Meningkat 70 Persen

Penjualan Pernak-Pernik Imlek Meningkat 70 Persen

21 January 2014 09:00 

 Jelang tahun baru imlek, penjualan pernak-pernik imlek dan kebutuhan sembahyang meningkat hingga 70 persen. Hal itu disebabkan banyak orang tionghua, khususnya di Padang mulai mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menyambut tahun baru.

"2 minggu sebelum imlek, pelanggan sudah ramai. Jika hari ini, pembeli masih kisaran 100 orang lebih. 2 atau 3 hari menjelang imlek, akan meningkat hingga 150 orang lebih per harinya," ujar Lifen (30), pemilik toko "Lotus" di jalan Pulau Karam kepada padangtoday.com, Senin (20/1)

Toko Lotus merupakan satu-satunya toko grosir di Padang yang menjual pernak-pernik imlek dan kebutuhan sembayang seperti kertas, lilin, dupa, aksesoris imlek, tenglong-tenglong, baju, maupun kertas ang pao. Harganya mulai Rp. 5.000,00 hingga Rp. 300.000,00 , semua tergantung bahan dan tingkat kerumitan pengerjaan produk. Sedangkan lilin besar, bisa mencapai lebih dari Rp. 1.000.000,00.

Lanjutnya, "Ada 50 item dengan variasinya bisa sampai 500 macam didatangkan dari China, Malaysia, Taiwan dan India. Dupa yang paling laku adalah dupa aroma terapi yang didatangkan dari India. Lilin dan kertas biasanya dipesan oleh pemeluk agama Budha dan Konghucu."

Lifen biasanya menyuplai semua kebutuhan dari Jakarta, Medan dan Pekanbaru. Menurutnya, tidak ada kenaikan harga barang ketika imlek. Meskipun ada kenaikan barang 2 bulan yang lalu, disebabkan karena anjloknya rupiah pada dollar.

"Kami juga menjual pernak - pernik bergambar Kuda Kayu, seperti ang pao, pajangan, tempelan dinding, maupun baju. Pelanggan banyak yang mencari, karena sekarang kita akan menyambut datangnya tahun Kuda Kayu," ujarnya, yang sudah menggeluti bisnis pernak-pernik selama 7 tahun.

Salah satu pembeli, Sherli Gerson (29), pemilik bridal Ang di jalan Sungai Bong terlihat sedang membeli kertas Ang Pao dan tempelan dinding bergambar Kuda Kayu. "Saya memilih berbelanja di sini, karena cukup lengkap dan bervariasi," ujarnya. (*)

*like