12.20.2014

Kawanku, berjuang adalah keharusan!

Ada Orang yang Berjuang Satu Hari,Itu Baik! Ada Orang yang Berjuang Satu Tahun,Itu Lebih Baik! Ada Lagi yang Berjuang Bertahun – Tahun,Itu Sangat Baik Sekali! Tetapi Ada lagi yang Berjuang Seumur Hidup,Itulah yang Amat Dibutuhkan!!  - Bertolt Brecht- ( Buku Pantha Rei – Tantiana Lukman )
Kawanku, barangkali kau bosan dengan segala rutinitas kita. Dengan segala persoalan yang datang tanpa henti. Semua bergumul di dalam kepalamu, menyangkut satu sama lain dan menggumpal layaknya benang kusut. Seolah kerja – kerja yang kita lalui hanyalah sia – sia. Kau merasa begitu gagal dan ingin lari dari segala persoalan itu.

Barangkali sekarang, kau sedang membaringkan badan di atas kasur. Mengatupkan mata, meskipun nyatanya persoalan itu masih menari – nari di dalam kepalamu. Tarian yang menuntut kita untuk menyelesaikannya segera. Tarian yang semakin lama makin riuh dan membuat kepalamu seakan pecah oleh gerakannya.

Barangkali juga kau sedang meneteskan air mata. Air yang lahir dari kegetiran serta kepedihan kita menghadapi segalanya. Seolah hanya kita yang memikirkan semua ini, sedangkan yang lain hanya asik bercengkrama seolah hidup ini sedang baik baik saja. Air matamu telah cukup penuh membuat kuyup sarung bantal, dan kau hanya bisa tersedu. Barangkali, hal itu yang menurutmu baik untuk dilakukan saat ini.

Tapi, Ketahuilah kawanku. Keadaan yang kita rasakan ini tidaklah serta merta terjadi begitu saja. Ada api yang kemudian membuat asap itu mengepul. Ada penyebab dibalik semua kegelisahan, yang membuncah menjadi sebuah kepedihan yang menjemukan. Kehidupan ini tidaklah dalam keadaan baik – baik saja. Dan kita menyadari itu..!

Akupun tahu, kita sudah berusaha sebaik – baiknya. Kita membaca, kita belajar , kita berjuang agar orang lain mengerti hal itu. Kutahu pasti usaha itu! Kita belajar memperbaiki kebiasaan – kebiasaan buruk, kita belajar untuk memahami orang – orang di sekitar kita, kita belajar agar bisa berjuang dengan baik bersama kawan – kawan.  Sekali lagi kawan, aku hormati kerja keras kita.

Kawanku, kita memang harus menyeka mata kita yang perih akibat asap itu. Sembari terus mencari dari mana asal titik api tersebut. Kehidupan yang sedang tidak baik – baik saja ini lahir dari biang keladi penghisapan dan penindasan. Biang ini sudah ada sejak berabad – abad lamanya. Ia terus bermetamorfosis, hingga pada titik puncaknya. Ia sudah menghisap nadi dari ibu pertiwi, layaknya perasan jeruk pada alat perasan. Ia mengeruk emas, timah, minyak, segala sesuatu yang ada dikandungan ibu pertiwi maupun apa yang tumbuh di atasnya. Ia menjadikan anak – anak ibu pertiwi sebagai tenaga yang dijual dengan harga murah. Bahkan, ia mengambil beberapa dari anak – anak ibu pertiwi, agar bisa menjadi bonekanya. Serta menjerat ibu pertiwi dalam lilitan monopoli pasar dan hutang. Dialah Imperialisme..!

Layaknya parasit yang perlu inangnya, begitupun imperialisme. Maka ia tidak serta merta menghancurkan feodalisme, agar ia sah sebagai pemilik tanah yang jumlahnya tidak lagi cukup dihitung oleh jarimu. Ia membaginya sedikit pada bonekanya, agar bisa melindunginya lewat legalitas perundang – undangan beserta angkatan bersenjata. Bonekanya yang hari ini kita sebut Kapitalis Birokrat.

Imperialisme dan Kapitalisme Birokrat inilah yang hari ini berseluncur di papan roda feodalisme. Ia yang menyebabkan upah buruh di pangkas. Ia juga yang menyebabkan para petani kehilangan tanahnya. Ia juga yang menyebabkan anak muda tidak bisa mengakses pendidikan dan kehilangan masa depannya. Ia juga yang merekayasa lahirnya para teknokrat yang menciptakan karya, karsa, dan cipta untuk kepentingannya. Ia yang menyebabkan BBM naik, upah murah, perampasan lahan, pengangguran, biaya bahan pokok mahal dan segala kekejian yang ada.

Selain itu, imperialisme juga belajar dari gerakan rakyat yang selama ini memeranginya. Ia tahu, jika rakyat tahu apa yang menyebabkan asap mengepul, maka habis sudahlah ia.! Ia tahu, jika kebudayaan rakyat jadi maju, maka rakyatlah yang akan habis – habis menguliti kepala hingga kakinya. Karenanya, ia bekerja sama dengan bonekanya untuk melahirkan sebuah sistem pendidikan yang sulit dijangkau oleh banyak orang. Ia juga sebagai biang menciptakan berbagai bentuk bahan ajar yang membuat orang menjadi saling menginjak, saling berlari dan menyelamatkan diri sendiri. Ia jugalah yang terus berupaya menciptakan kesadaran palsu, agar setiap orang merasa baik – baik saja meskipun sudah diperas hingga tak berdarah.

Ia jugalah yang menyebabkan kita diancam dosen ketika sedikit kritis soal mata kuliah. Ia jugalah yang menyebabkan kita terancam di Drop Out karena menuntut fasilitas kampus. Ia jugalah yang membuat kita tidak bisa melanjutkan perkuliahan karena biaya kuliah yang makin mahal. Ia jugalah yang membuat kita merasa menjadi gila di tengah mahasiswa yang hari ini merasa baik – baik saja. Ia juga yang mematahkan duakan semangat kita dan mencoba menggiring kita ke dalam jurang keputus asaan. Tujuannya agar kita diam dan jenuh seperti sekarang ini. Bahkan ia akan bertepuk tangan, ketika kita lari dan mencoba menerima bahwa “Hidup ini baik – baik saja.”

Kawanku, ia akan terus berupaya untuk menghancurkan kita. Iapun sedang krisis. Krisis akut dalam tubuhnya itu membuatnya semakin buas untuk menghisap dan menindas kita. Karenanya, kau jangan pernah sekali – kali merasa sendiri kawan. Di seluruh daerah, bahkan penjuru dunia, banyak dari mereka yang melakukan hal yang serupa dengan kita. Mereka juga merasakan kepedihan, mereka juga merasakan kekecewaan, mereka juga merasakan berbagai persoalan datang terus menerus tanpa henti. Dan mereka juga berjuang! Dan kita harus mengetahui bahwa api dari asap itu adalah Imperialisme. Maka kita akan memeranginya tanpa ampun, tanpa ada sedikit belas kasihan. Pastinya kita tidak bisa sendiri, kawan. Kita butuh banyak kawan – kawan dan kita butuh organisasi.

Kawanku, hapuslah air matamu. Sudahin risau dan keputusasaan itu. Jangan sampai kau berlari meninggalkan jalan ini. Kau hanya lelah kawan. Kita tidak kalah. Kegagalan menunjukan bahwa kita telah berusaha. Kegagalan bukan berarti apa yang kita kerjakan sia – sia. Kegagalan menjadi arti bahwa kita harus terus berjuang, berjuang hingga menang.

Jika kau katakan hidup adalah perjuangan, maka berjuang adalah keharusan kawan. Pengalaman telah membuktikan, bahwa sejak zaman perbudakan hingga hari ini selalu ada yang dihasilkan dalam setiap periode pergerakan besar. Maka menjadi tugas dan tanggung jawab kita sebagai anak zaman, bahwa kita harus berjuang. Jangan sekali – kali kita meragukannya. Cita – cita tentang hari depan tanpa penindasan dan penghisapan adalah benar adanya.

Jangan pernah biarkan dirimu termangu sendiri. Pecahkan seluruh persoalan bersamaku serta kawan kawan yang lain. Senantiasalah belajar di tengah – tengah orang banyak dan selalu belajar dari kesalahan serta kekurangan kita . Janganlah sesekali kita menyalahkan seseorang karena ketidaktahuannya. Kerjakan segala pekerjaan bersama – sama, bagilah pekerjaan sesuai kemampuan, dan lakukanlah penilaian setelah pekerjaan itu berakhir. Apresiasi setiap capaian dan perbaiki setiap kelemahan. Dan juga, jagalah kawan kita layaknya seperti menjaga batang tubuh kita. Karena berjuang tanpa kawan adalah liar. Maka kita harus memperbanyak kawan. Karena berjuang bersama adalah keharusan.

Angelique Maria Cuaca
Padang, 21 Desember 2014
4:52

9.17.2014

Menjelang Senja

"Rayu, bicara tanah bagi petani sama halnya bicara udara bagi manusia. Manusia tidak bisa hidup tanpa udara. Begitu juga petani. Mereka tidak bisa hidup tanpa tanah. Dari tanah, mereka menanam dan menjual hasilnya ke pasar. Semuanya semata mata hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolah anaknya. Coba dibayangkan bila tanah itu tidak ada, maka habislah kehidupan petani beserta anak - anaknya, " jelas Dayat sambil tersenyum.

Sore tadi di caffe dekat kampus Ababil, aku beserta Dayat dan Rayu memutuskan rehat di sana sembari menikmati senja. Kami memilih duduk di lantai dua agar bisa menikmati pemandangan. Awalnya kami di meja nomor 8. Kemudian pindah ke meja nomor 10. Alasannya pertama, karena lebih dekat dengan jendela dan bisa melihat pemandangan. Kedua, karena pelanggan yang sebelumnya duduk di sana telah beranjak dari meja itu.

Suasana yang lengkap. Sepoi angin yang masuk lewat jendela membuat kami makin nyaman duduk di sana. Di tambah lagi alunan musik jazz dan sebuah TV layar lebar di tengah ruangannya. Hiburan yang menarik di kala sehabis pulang kuliah. Kami duduk sembari menikmati pesanan masing masing. Aku dengan Kopi miloku, Dayat dengan Lemon tea nya, dan Rayu dengan seporsi mie pakai nasi yang ditemani  segelas teh manis hangat.

Setengah jam berlalu, pandanganku tertuju pada TV layar lebar. Seorang pembawa berita, ia perempuan, memberitakan tentang upaya petani di Matar menolak penggusuran yang dieksekusi oleh pihak kepolisian. Seorang ibu menangis berupaya menolak tindakan tersebut. Namun aparat seolah tidak peduli dan mencoba mengusir warga dari lokasi lahan. Aku melemparkan pandanganku ke Dayat. 

" Yad, lihat itu. Aku sedih melihatnya," ujarku. 
" Iya, ngie. Aku juga sedih. Kenapa mereka tega bertindak seperti itu ya? "
" Entahlah Yad.. " 

Kami melanjutkan minum dan mulai larut dengan obrolan yang lain. Sejenak melupakan berita yang tadi. Seolah ada luka yang telah tertoreh dan kami berusaha untuk tidak menyadarinya. Kami mulai bercerita soal sawah. Jika diintip dari jendela, maka akan terlihat 2 petak sawah kecil yang dikelilingi oleh beton. Di depannya jalan aspal, di kiri kanan serta belakang adalah perumahan.

" Yad, papaku pernah cerita. Dulu di jalan Sawahan itu banyak sekali sawah. Ia bersama temannya sering main ke sana. Namun, tempat itu kini telah menjadi perumahan dan kantor kantor. Sama seperti dua petak sawah di sana," ceritaku sambil menunjuk ke luar jendela. Jalan Sawahan kira kira berjarak 1 kilometer dari kampus Ababil.

" Iya ya. Nama jalannya Sawahan, tapi sudah tidak ada sawah lagi," ujar Dayat sembari menyantap mie-nya Rayu. Gadis berambut ikal panjang itu sepertinya sudah kekenyangan. Aku ikut ambil bagian. Ikut menyantap mie.

" Sepertinya seru jika di sawah. Aku pernah lihat lukisan anak petani yang sedang duduk di atas punggung kerbau sembari meniup seruling. Aku membayangkan anak petani itu adalah aku," ujarku dengan mulut yang masih mengunyah mie.
" Sepertinya menarik. Ayahku punya sawah di Bukit. Jika mau, kita bisa ke sana lain waktu," ajak Dayat.
" Ada kerbaunya?" tanyaku.
" Ada. Jika mau, kita bisa naik di atasnya sembari meniup seruling," jawab Dayat.
" Iya, nanti kita dudukan Rayu di atasnya," kelakarku sembari melemparkan gulungan tisu ke Rayu.
" Masa aku yang naik kerbaunya? Aku ga mau, Anggie," protes Rayu.
" Tak apa, Yu. Nanti sekalian bisa makan kutunya kerbau," Dayat ikut bergurau.
" Enggak. Emang aku burung jalak?" Rayu mulai cemberut.
Aku dan Dayat tertawa melihat wajah mungil Rayu yang merah karena sebal. " Kita cuma bercanda kok," senyum Dayat.

*

Kira kira 30 menit setelahnya, mie serta nasi nya Rayu telah ludes oleh aku dan Dayat.  Mataku kembali tertuju pada TV layar lebar tadi. Pembawa acara mengabarkan sebuah kasus perampasan lahan lagi. Kali ini rumah yang dianggap liar di Swarna Dwipa digusur oleh PT Kereta Api milik Negara. Kepala PT itu dengan arogan menyatakan bahwa tanah itu adalah milik negara dan berhak diambil sewaktu - waktu. Sekali lagi, aparat keamanan bertindak menghalau warga yang mencoba mempertahankan rumahnya. Seorang ibu menangis dan berteriak, menyumpahi si penggusur. Tapi apa daya, si penggusur tetap meluluh lantak bangunan dengan traktor alat berat. Warga berupaya melawan, ibu - ibu menangis dan anak anak berlarian memeluk ibunya. Mereka juga menangis, karena ibunya menangis. Dayat ternyata juga seksama memperhatikan berita tadi.

" Kasus perampasan lahan terjadi di mana - mana ya Yad. Kemarin, sewaktu aku nonton berita di rumahpun juga begitu. Hanya tempat dan pelakunya saja yang beda. Kadang perusahaan perkebunan, kadang perusahaan tambang, dan kadang negara melalui badan usahanya. Kesamaannya ya sama - sama warga yang jadi korban, seringnya petani," ceritaku. Dayat terdiam. Ia menatap ke luar jendela dan kedua alisnya saling bertaut satu sama lain.

" Aku baru ingat. Aku pernah membaca berita online tentang kasus perampasan lahan di negara kita. Dari tahun ke tahun makin meningkat. Bahkan menyebabkan banyak korban serta kematian akibat tertembak di lahan, " ujar Dayat Pelan.

Akupun terdiam sejenak dan menelan ludah. " Lalu mengapa petani itu rela mati hanya untuk tanah saja?" tanya Rayu. Rayu yang awalnya tidak tertarik dengan obrolan kami ternyata ikut dalam perbincangan aku dan Dayat.

"Rayu, bicara tanah bagi petani sama halnya bicara udara bagi manusia. Manusia tidak bisa hidup tanpa udara. Begitu juga petani. Mereka tidak bisa hidup tanpa tanah. Dari tanah, mereka menanam dan menjual hasilnya ke pasar. Semuanya semata mata hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolah anaknya. Coba dibayangkan bila tanah itu tidak ada, maka habislah kehidupan petani beserta anak - anaknya, " jelas Dayat sambil tersenyum. " Begitu ya," ujar Rayu sembari menganggukan kepalanya.

" Ngomong - ngomong, seminggu lagi bertepatan dengan Hari Tani Nasional. Apa yang akan kita lakukan?," aku melemparkan pertanyaan ke teman - teman. Rayu dan Dayat saling berpandangan.
" Aku lihat selebaran yang ditempel di mading dekat gedung A. Kalau tidak salah isinya tentang undangan diskusi umum tentang Hari Tani Nasional yang diadakan salah satu organisasi pemuda mahasiswa. Temanya : Mengecam 9 tahun Rezim Penguasa, Pemuda Mahasiswa Bangkit dan Berjuang Bersama Kaum Tani ," ujar Rayu.
"Waw... Temanya keren. Kapan acaranya?," tanyaku.
" Em, kalau tidak salah besok," jelas Rayu sembari mengingat - ngingat.
" Siapa yang kira - kira bisa kita hubungi?" tanya Dayat.
" Em, tadi kalau tidak salah kontak personnya si Agus, teman lokal kita," jawab Ayu.
" Agus??," ucap aku dan Dayat serempak.
"Iya. Si Agus. Memangnya kenapa?," tanya Rayu.

" Dia pernah mengajakku dan Dayat untuk ikut bergabung bersama ia dan teman - temannya. Tapi saat itu aku tidak terlalu merespon," ujarku.
" Hahahaha.. Akupun begitu. Tapi sudah sedikit tertarik karena pernah mendengar cerita Agus soal program 3 sama ke desa. Selain itu pernah melihat Agus dan teman temannya aksi di depan kampus teriak : Hentikan perampasan tanah, upah, kerja. Dulunya hanya sekedar tertarik, belum ada niat untuk bergabung," jelas Dayat.
"Apa itu 3 sama?," tanya Rayu lagi.
" Sama makan, sama tinggal, sama kerja," jawab Dayat.
" Lalu, apa kau mulai berniat untuk bergabung bersama mereka?," tanyaku.
" Iya. Aku tertarik. Aku mulai lebih mengerti tentang mereka karena obrolan kita tadi," jawab Dayat sambil tersipu.
" Aku juga mau bergabung. Lalu bagaimana denganmu?," tanyaku pada Rayu.
" Aku juga dong. Kalau kalian ikut, aku juga," jawab Rayu mantap.

Kami tak sadar kalau senja telah berlalu dan malam mulai mengganti kehadirannya. Aku melihat langit yang sudah menghitam dari balik jendela.
" Sepertinya kita harus pulang. Sudah jam 8 malam," ujarku sambil menatap jam tangan besi yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.
" Yuk, lalu siapa yang akan menghubungi Agus?," tanya Dayat.
" Aku saja," Rayu dengan cepat menjawab pertanyaan Dayat. Rayu sepertinya begitu bersemangat untuk ikut di diskusi umum itu besok.
" Baiklah, berarti kita tunggu kabar darimu Yu," ujarku dan Dayat serempak.

Kami menuju kasir dan segera pulang ke kos masing - masing. Berharap besok kami dapat terlibat lebih banyak untuk Hari Tani Nasional dan hari hari berikutnya.

-----------------
* Like
nb : terimakasih untuk Ayu dan Ryan. Tulisan ini terinsiprasi dari cerita ringan kita di cafe kemarin. 

8.20.2014

Memecah sunyi

<1>
Temaram menghantam langit menghitam
Kesaksian dibungkam
Wajah kusam memaki kelam
Menyobek heningnya malam

Bridge:
Ku langkahkan kaki, kau lontarkan maki
Ku nyanyikan lagi, tentang sombongnya hari


Reff:
masihkah ada cinta di nurani
masihkan ada bahagia di negeri ini
masihkah ada cinta di nurani
masihkan ada bahagia di negeri ini

<2>
di bawah angkuh kuasa tiran
terjejal beribu maki
kenyataan dikaburkan
ceritakan keangkuhan negeri

Bridge:
Ku langkahkan kaki, kau lontarkan maki
Ku nyanyikan lagi, tentang angkuhnya negeri

masihkah ada cinta di nurani
masihkan ada bahagia di negeri ini
yakinlah ada cinta di nurani
yakinlah  ada bahagia di negeri ini

Bridge:
Ku langkahkan kaki, kau lontarkan maki
Ku nyanyikan lagi,  memecah sunyi

-------------
karya : Wins
Yogyakarta, 29-07-2014

Catatan : Tentang cinta dan bahagia,
Terimakasih untuk sahabat, saudara, dan kawan terbaik yang sudah menciptakan lirik serta untaian nada yang dikemas seapik ini. semoga setiap derap langkah kita mampu memecah kesunyian akibat ilusi
yang dibuat oleh musuh sejati rakyat di negeri ini.