12.10.2011

Relasi Laki – laki dan perempuan di dalam Kampus


Oleh :
Angelique Maria Cuaca
Mahasiswa Psikologi UPI YPTK Padang
Disampaikan pada seminar sehari Aliansi We Can " Stop Kekerasan Pada Perempuan " Desember 2011 di UPI "YPTK"
dengan tema
 “ hidup terhormat tanpa kekerasan terhadap perempuan “


“ Laki – laki dan perempuan sesungguhnya adalah setara. Mereka memiliki sifat, karakter dan kemampuan berbeda yang dibentuk oleh lingkungan. Laki – laki dan perempuan selayaknya menjadi patner kerja bukan rival. Karena laki – laki tak akan mampu hidup tanpa perempuan, dan begitupun perempuan. Jika ditarik ke prinsip sosiologi, laki laki dan perempuan adalah manusia yang saling membutuhkan. “
Getsemani Karo – aktivis perempuan dari Gerakan Rakyat Indonesia -

Relasi antara laki laki dan perempuan

Jika bertumpu pada konsep agama,laki laki dan perempuan merupakan dua makluk berbeda ciptaan Tuhan. Sudah selayaknya mereka saling mengisi dan membantu. Dunia tidak akan berkembang jika hanya di isi oleh lelaki saja tanpa perempuan dan sebaliknya. Jika seorang perempuan mengatakan, saya akan mogok melahirkan maka manusia di dunia akan habis karena tidak ada regenerasi. Begitu juga sebaliknya, jika laki laki ingin menghabisi keseluruh keturunan mereka bisa untuk mogok memberikan benih. 2 hal ini memberikan arti untuk menghidupkan suatu kehidupan, laki laki dan perempuan saling membutuhkan. Laki – laki tidak dapat hidup tanpa perempuan, begitu juga perempuan.

Relasi hubungan laki – laki dan perempuan dalam hubungan masyarakat memiliki kekuatan besar. Laki laki dan perempuan berbagi tugas, bahu membahu dalam menciptakan tatanan sosial yang baik dan sejahtera. Mereka hidup berdampingan dalam bentuk kumpulan keluarga kecil yang kemudian menjadi sebuah masyarakat. Namun, ternyata dalam kumpulan mozaik tersebut terdapat ketimpangan yang mengakibatkan adanya ketidak adilan dalam relasi laki laki dan perempuan.

Di Indonesia sendiri, permasalahan mengenai bentuk ketidak adilan terhadap perempuan sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Suku di Indonesia yang mayoritas menganut sistem patriaki atau yang kita sebut dengan sistem kebapakan meletakan laki – laki di posisi yang menguasai dan perempuan di posisi yang dikuasai. Di suku Jawa Pantura, di dalam keluarga dominasi terlihat dari pihak laki laki dimana seorang kepala keluarga, suami, atau ayah dari anak anak mempunyai kewajiban untuk memenuhi nafkah sedangkan istri lebih dikonsentrasikan pada pekerjaan domestik seperti pengasuhan anak dan mengurus rumah tangga. Pendidikan anak laki laki lebih diutamakan dari pada pendidikan perempuan. Istilah wanita itu sendiri berasal dari bahasa jawa yaitu “wani di tata” yang berarti berani di tata, sedangkan laki laki mendapatkan tempat istimewa untuk menatanya. Suku Banjar di Bali, dalam lingkup sosial bagi seorang laki laki diberi kekuasaan untuk mengambil peran dalam pembuat keputusan, sedangkan perempuan hanya mendapatkan porsi sebagai pelaksana. Konon, katanya laki – laki dianggap lebih berkapasitas dibandingkan perempuan baik dalam relasi keluarga maupun sosial.Dominasi yang seperti inilah yang kemudian menjadi akar dari timbulnya budaya kekerasan.

Dominasi itu semakin menguat pada saat munculnya Orde Baru. Di mana pemimpin perempuan tidak di pilih dari basis masyarakat, tetapi dari jabatan suami. misalnya di PKK. Ibu –ibu yang menjabat di PKK adalah para istri yang suaminya pegawai negeri. Yang perlu di catat, tidak semua perempuan yang memiliki kesadaran untuk berjuang. Mereka mendapatkan posisi hanya karena mereka " ISTRI dari PEGAWAI NEGERI ", bukan karena kemampuannya. Bahkan pada masa ORBA, gaji perempuan dan laki laki dibedakan. Or Ba selalu meneriakan jargon jargon bahwa perempuan adalah ibu yang harus di rumah, mendidik anak, dan lain - lain. Sedangkan laki laki adalah bapak yang harus bertanggung jawab atas semuanya. hal itu dibuktikan ketika Soeharto mengangkat dirinya sebagai BAPAK NEGARA dan istrinya sebagai IBU NEGARA. Ibu Tin ( istri soeharto ) difigurkan sebagai perempuan yang ideal, yang ayu, selalu ada dirumah, menjaga, patuh pada suami dan merawat anak.

Pada saat Orde Lama, Soekarno menunjukan kesetaraan lewat penyamaan gaji pegawai negeri laki laki dan perempuan. Naiknya Tri Murti yang seorang pemimpin perempuan dari kalangan buruh menjadi menteri perburuhan menunjukan bahwa Soekarno melihat perempuan dan laki laki itu setara, baik dalam hasil maupun yang mereka dapatkan.

Minangkabau dan sistem Matrilinealnya

Suku Minangkabau yang menerapkan sistem matrilineal, pada dasarnya meletakkan posisi laki – laki dan perempuan adalah sederajat. Di Minang, perempuan berperan sebagai penjaga harta pusaka seperti rumah gadang, sawah atau harta benda. Sedangkan laki – laki sebagai pengelola harta pusaka. Namun, sistem kekerabatan ini tidak luput dari pola perilaku ketidak adilan. Perempuan memang berperan penjaga kunci harta warisan, namun tidak dalam pengambilan keputusan. Tak menjadi sesuatu yang mengherankan ketika keputusan yang diambil dalam nagari / keluarga sendiri banyak merugikan kepentingan perempuan.

Tradisi pingitan di Minang merupakan suatu bentuk keterikatan perempuan Minang terhadap peran pengelolaan keluarga namun tak leluasa dalam pengaktualisasian diri, menentukan putusan, dan sumbangsih bagi masyarakatnya. Tradisi pingitan dilatar belakangi karena perempuan dianggap sebagai makhluk lemah yang harus dilindungi dan diawasi.

Semakin berkembangnya transformasi ilmu pengetahuan telah membawa perubahan dalam kondisi kehidupan masyarakat Minang. Tradisi pingitan mulai mengalami perenggangan. Peran mamak tidak lagi mampu mengawasi kemenakan. Perempuan Minang yang mulai menggemari kebebasan hidup di luar rumah sehingga menyebabkan asumsi miring bagi mereka karena budaya Minang hari ini masih menyanjung tinggi perempuan yang pandai mengatur rumah dengan baik. Perempuan Minangpun mendapatkan tekanan psikologis dari keluarga.

Kekerasan dalam relasi laki – laki dan perempuan di Kampus

Relasi laki laki dan perempuan yang terbangun dalam lingkungan kampus meliputi persahabatan, teman sekelas, antara dosen dengan mahasiswa, dan yang paling intim, berpacaran. Dalam berpacaran, kebanyakan dari laki laki melakukan kekerasan terhadap perempuan baik kekerasan fisik, maupun kekerasan psikologis dalam bentuk hinaan. Banyak kasus kekerasan yang dialami oleh mahasiswi namun tidak kelihatan karena mereka cenderung menutupinya. Mereka malu mengungkapkannya karena menganggap itu adalah aib bagi mereka. Untuk menghindari kekerasan tersebut, mahasiswi cenderung untuk menuruti apa yang menjadi keinginan pacarnya yang laki – laki. Sedikit dari mereka yang mampu menyuarakan kebebasannya sebagai manusia dalam bentuk ketegasan. Misalnya : “ Meskipun perempuan, saya  tetaplah manusia yang memiliki kesempatan yang sama dengan laki  - laki, Saya akan melaporkan tindak kekerasan yang saya dapat kepada yang berwajib, dsb “

Praktek kekerasan kemudian dapat kita lihat juga dari lingkungan kampus. Praktek tersebut menjelma menjadi bentuk kekerasan psikis/ psikologis. Di kampus UPI YPTK, untuk pemilihan ketua kelas haruslah laki – laki. Perempuan tidak diizinkan untuk menjadi ketua kelas. Kemudian, ketika dalam ruang kuliahpun ada beberapa dosen yang menerapkan peraturan bahwa laki – laki dan perempuan haruslah duduk terpisah. Pertanyaannya kemudian, mengapa harus dipisahkan antara laki – laki dan perempuan? Lalu, bagaimana dengan perempuan yang mampu tapi tak memiliki kesempatan?

Di tilik dari beberapa kasus, ternyata kekerasan tidak terjadi pada perempuan, tapi juga pada laki laki dan sesama perempuan. Tak jarang perempuanpun sering melecehkan perempuan yang lain karena dianggap tidak sepadan misalnya kelompok geng perempuan cantik mencemooh perempuan yang dianggap tidak cantik, perempuan yang kaya kemudian mencemooh perempuan yang miskin. Beberapa kasus menyebutkan juga bahwa laki – laki pun juga mendapatkan kekerasan misalnya ketika dalam pacaran, si perempuan menampar dan mencakar si lelaki karena marah, si perempuan membandingkan pasangannya dengan lelaki lain. Kalau dikaji lebih mendalam lagi sebagai manusia, laki laki dan perempuan memiliki potensi yang sama untuk melakukan tindak kekerasan.

mengapa kekerasan bisa terjadi? Menurut Hobbes dalam teorinya “ Homo Homini Lupus “ yang berarti manusia bisa jadi serigala bagi manusia lainnya mengatakan bahwa secara alamiah manusia punya naluri kekerasan. Segala tindakan manusia mengarah pada pemupukan kekuasaan dan hak milik sehingga akan menjurus pada perang antara semua melawan semua. Naluri untuk menguasai lebih itu kemudian yang mengobarkan semangat untuk melakukan tindak kekerasan, seperti menyakiti, menyerang ataupun merusak.

Pertanyaannya, mengapa hari ini kebanyakan korban kekerasan adalah perempuan dan laki   – laki sebagai pelaku? Dalam kajian psikologi sosial menurut Muhammad Ilham, kekerasan sering timbul dari problem alam bawah sadar. Sistem ketidak adilan selama ini yang terus tumbuh dan mengakar mengakibatkan tindak kekerasan semakin menjadi hal yang lumrah dilakukan bagi pihak yang diuntungkan kepada pihak yang dirugikan. Parahnya lagi, budaya patriaki tidak lagi bersemayam pada beberapa aspek namun sudah menjalar di berbagai aspek salah satunya adalah pendidikan.

Sentralisasi pendidikan yang diberlakukan Orde Baru di mana segala seluruh kegiatan pendidikan diatur oleh pusat baik dalam hal penyeragaman kurikulum, pola pikir, cara sikap dan tindakan siswa ternyata membawa budaya patriaki di dalamnya. Dalam prakteknya, peserta didik laki – laki lebih didahulukan daripada peserta perempuan. Misalnya untuk menjadi ketua kelas, seorang pendidik akan lebih memilih laki laki dan perempuan hanya diberi kesempatan untuk menjadi wakil ketua, meskipun terkadang peserta didik perempuan jauh memiliki kemampuan memimpin dibandingkan laki – laki. Secara psikologis, kondisi ini membuat dominasi lelaki menjadi sebuah kekuasaan legal bagi perempuan. Kekuasaan yang dimiliki laki – laki akhirnya timbul rasa tidak menghargai, menganggap rendah, bahkan melakukan penghinaan terhadap perempuan. Tak heran, jika hari ini banyak kita temukan kasus kekerasan pada perempuan, baik kekerasan fisik saat pacaran, pelecehan seksual dan pemerkosaan, penghinaan serta tekanan psikologis lainnya.  Rasa memiliki kuasa yang sangat besar itulah akhirnya yang menimbulkan tindakan kekerasan.

Laki laki, perempuan, kedudukannya yang setara

Kemudian menjadi sebuah refleksi, bagaimana kedudukan perempuan dan laki – laki itu sebenarnya? Apakah benar laki – laki adalah yang pertama, dan perempuan yang nomor dua? Lalu apa yang harus dilakukan agar laki – laki dan perempuan dapat saling menghargai dan mewujudkan kesetaraan di kehidupan sosial?

Pertama,sesungguhnya yang membedakan laki – laki dan perempuan hanyalah kemauannya dalam berusaha, sedangkan sifat dan karakternya dibentuk oleh lingkungan sekitar. Jika kita katakan perempuanlah yang paling jago memasak, jangan salah. banyak lelaki yang memiliki kemampuan memasak jauh lebih hebat dari perempuan. Lalu kita katakan lagi perempuan itu lembut, lemah gemulai, emosional, egois dan penakut. Namun tak sedikit pula lelaki yang lembut pembawaannya, lemah gemulai, emosional, dan penakut. Kita katakan bahwa laki laki lah yang sanggup mengangkat berat.Tapi tanpa sepengetahuan kita, buruh buruh di pelabuhan bahkan di pabrik tidak hanya laki laki, tapi juga perempuan. Dan mereka memiliki beban kerja yang sama dengan laki laki. 3 contoh di atas bisa kita simpulkan bahwa laki - laki dan perempuan bisa melakukan pekerjaan apa saja, sesuai kemampuan fisik yang mereka bawa sejak lahir.

Kedua, laki laki akan menjadi yang diutamakan ketika ia mampu menjadi yang pertama, ketika ia tidak mampu maka ia tidak akan menjadi yang pertama. Begitupun dengan perempuan, seorang perempuan yang malas tidak akan menjadi yang pertama. Ketika seorang perempuan mau bekerja dan berusaha, ia akan menjadi yang terbaik.

Ketiga, Perempuan dan laki – laki harus saling menghargai peran. Perempuan harus berjuang mendapatkan kesetaraan itu dan laki – laki harus memberi ruang tersebut. Laki – laki harus rela memberikan sedikit keistimewaannya pada perempuan tanpa takut kalah pada perempuan. Laki – laki harus sadar memperlakukan perempuan dengan baik dan benar sesuai kodrat manusia, karena baik laki – laki dan perempuan dilahirkan memiliki kesempatan yang sama untuk hidup, kemudian memiliki hak yang sama untuk mempertahankan hidup, dan memiliki kewajiban yaitu mati. Para pejuang perempuan seperti RA Kartini, Siti Manggopoh, Rohana Kudus dan  Cut Nyak Dien tidak pernah mengatakan bahwa " PEREMPUAN HARUS MENGALAHKAN LAKI LAKI" . Mereka tidak pernah memperjuangkan " lelaki harus tunduk di kaki perempuan " seperti sinetron " Suami Suami takut Istri ". Mereka hanya menginginkan bagaimana perempuan dan laki laki memiliki posisi yang sama dan dapat bekerja sama menurut kemampuan masing masing. Di mana nantinya perempuan dan laki – laki menyadari bahwa mereka bukan rival kerja, melainkan patner , yang saling bahu membahu bekerja untuk suatu tujuan, lalu meninggalkan embel embel " KARENA KAMU PEREMPUAN / KARENA KAMU LAKI LAKI. " itulah makna kesetaraan yang sesungguhnya.

***

8.01.2011

1 Agustus 2011

menangis terkadang menjadi simbol untuk sebuah perjuangan yang keras. tapi terkadang menangis jadi lambang sebuah keputus asaan dan kekecewaan yang berkepanjangan. dan menangis juga menandakan seseorang itu " HIDUP " .

tapi jangan terlalu lama menangis, karena hidup haruslah ditempuh dengan cara cara yang lebih baik selain menangis. karena 1 detik ditinggalkan, waktu dan ruang akan berubah.
satu detik kemudian tidak akan bisa mengembalikan satu detik yang telah lalu.
waktu terus berkejar dan bergerak maju.
perubahanpun ikut maju mundur mengawalinya.
dan kita harus bergegas.. :)

bertahanlah.
semua akan baik baik saja.

angel like maria, 1 Agust 2011

5.11.2011

Setia

Di pantai seberang kesedihan
ada sesuatu yang disebut kebahagiaan,
tapi sebelum kita beranjak pergi ke sana,
masih ada kah yang harus kita tunggu..

dalam mengejar impian, tak ada alasan untuk melarikan diri
jangan menunggu besok, besok berbeda dengan hari ini
karena hidup seperti sebuah perahu yang menentang sungai,
semua akan berlalu, semua akan terlewati
kita harus tempuh, walau sinar mentari coba menyengat
kita harus terus melangkah tegar..

di tempat yang melelahkan dan penuh dengan kepedihan,
sesuatu yang disebut harapan, sedang menunggu
kita harus memiliki harapan itu,
seperti mencari bunga sedap malam yang mekar pada waktu subuh hari

seperti prajurit yang menunggu datangnya pagi
yang setia pada kebisuan sepanjang malam,
kita harus maju,
selangkah demi selangkah,
ketegaran ada ketika kita belajar untuk setia
setia pada jalan yang telah kita tempuh..
berjalan dan belajar
hingga akhir jalan kehidupan..

- lebah like-
11 mei 2011 , 3 : 26

5.08.2011

Nasibku ( Selamat Hari Perempuan Internasional )

Hari Perempuan internasional....

perempuan tidak akan pernah bisa sama dengan laki-laki...
karena pada dasarnya laki-laki dan perempuan itu berbeda dan tidak bisa disamakan.....
memperlakukan perempuan sama dengan laki-laki bukanlah jawaban atas keterbelakangan perempuan....
memiliki keterwakilan dalam politik bukanlah jalan untuk menjadi warga negara seutuhnya.....

perempuan bisa maju dengan seutuhnya bila semua pihak sadar bahwa ada yang salah dengan perlakuan terhadap perempuan....
apalah artinya sadar bahwa aku tidak bisa maju karena jenis kelaminku perempuan.....
apalah artinya aku yang seorang perempuan tahu dan sadar akan ketertindasan dan keterhisapanku sebagai perempuan.....

aku dan ratusan juta perempuan lainnya dimuka bumi ini dapat terbebas dari penghisapan dan penindasan dalam perspektif gender hanya bila lawan jenisku ikut berjuang melawan bersamaku....
seorang istri tahu dia tertindas didalam rumah tangga tapi apalah dayanya bila sisuami hanya memberikan opsi terima perlakuanku karena kamu perempuan lebih rendah derajatnya dalam rumah tangga atau keluar dari lingkup rumah tangga ini?!?!?!

pertama yang harus disadarkan itu adalah laki-laki....
laki-laki harus rela memberikan sedikit keistimewaan mereka kepada perempuan...tanpa takut kalah pada perempuan
laki-laki harus dengan sadar memperlakukan perempuan dengan baik dan benar sesuai dengan kodrat manusia, baik perempuan dan laki-laki ketika dilahirkan memiliki kesempatan yang sama untuk hidup, kemudian memiliki hak yang sama untuk mempertahankan hidup, dan memiliki kewajiban yang sama yaitu mati....

jika laki-laki sudah sadar tidak selayaknya menganggap perempuan nomor dua, maka semua kampanye tentang kesetaraan gender dapat terealisasi....
bukan kesamaan...laki-laki dan perempuan berbeda.....
kesetaraan adalah kerjasama...dimana laki-laki dan perempuan bekerja sama dalam mempertahankan hidup baik secara ekonomi,politik,sosial, dan budaya dengan saling berbagi peran sesuai dengan kemampuan dan keahlian masing-masing dimana keahlian itu diperoleh tanpa ada pembatasan gender....

SELAMAT HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL
PEREMPUAN INDONESIA....BANGKITLAH !!!!!!!!!!!

 -----  Getsemani Karo, 8 Maret 2011 ------
( catatan ini dibuat oleh kakakku. seorang perempuan yang menjadi inspirasiku untuk terus semangat dalam berjuang.. ^_^ )

2.28.2011

Fajar Merah Indonesia


Oleh : Angelique Maria Cuaca

Sewaktu kecil, saya ingat ada sebuah permainan sederhana yang biasa dilakukan sebagai ice breaking selingan suatu kegiatan. Permainan itu bernama “ bisik – bisik “.  Permainan ini dilakukan sebagai cara menyegarkan otak. Semua akan tertawa ketika apa yang disampaikan berbeda dari awal yang dimaksudkan. Menurut artikel di Psikologi Zone tanggal 15 Agustus 2009, tertawa memang dapat menyeimbangkan hormon penyebab stress dan meningkatkan kekebalan tubuh. Namun, tanpa disadari nilai dari permainan itu bukan hanya untuk menjaga kesehatan dan sebagai selingan untuk mencairkan suasana yang alot karena runtutan kegiatan yang padat. Nilai yang diambil sebenarnya bisa lebih dari itu.

Seorang instruktur menerangkan permainan kepada 10 peserta. Mereka diminta berbarisdan diberi nomor secara berurutan mulai dari 1 sampai 10. Permainan dimulai ketika instruktur memberikan secarik kertas  peserta 1 dan meminta orang tersebut untuk membisikan isinya ke peserta 2, peserta ke 2 membisikan kepada peserta 3, begitu seterusnya sampai terakhir ke peserta 10. Setelah itu, instruktur menyimpan kertas dan meminta peserta ke 10 untuk menyebutkan apa yang menjadi hasil dari bisikan peserta ke 9 yang didengarnya. Seluruh peserta ribut setelah mendengar apa yang disampaikan peserta 10, semuanya saling menyalahkan. Peserta ke 6 menyalahkan ke 10 , “ bukan itu yang dibisikan. Wah salah nih, harusnya kan seperti ini. “ Semua berusaha memperjuangkan apa yang dikatakannya adalah sesuatu yang benar .Instruktur membiarkan suasana itu riuh dan 10 menit kemudian ia menginstrukturkan agar semua peserta mengutarakan apa yang didengarnya mulai dari peserta pertama sampai terakhir.

Instruktur berkata, “ Peserta pertama, apa yang kamu baca dari secarik kertas yang saya berikan tadi? “Peserta pertama menjawab, “ Saya suka situ sebab situ suka sama sapi saya sehingga sapi saya suka senyum senyum sendiri. “ Semua penonton tertawa. Peserta kedua lanjut menjawab, “ Saya suka situ sebab situ senyum sama sapi saja. “ Mendengar penuturan peserta ke 2, penonton kembali tertawa sampai penuturan peserta ke 10 yang hanya terdengar, “ Saya suka sapi. “ Suasana dalam ruangan menjadi hidup oleh riuh tertawa penonton, tak terkecuali peserta. Instruktur kemudian mengeluarkan secarik kertas yang diberikan pada peserta pertama tadi dan membacanya, “ Saya suka situ sebab situ suka sama sapi saya sehingga sapi saya suka senyum senyum sendiri. “ Semua yang ada di ruangan itu tertawa kembali. Intruktur kemudian memberi pertanyaan kepada semua yang ada di ruangan, “ Lalu kesimpulan apa yang bisa kita ambil dari permainan ini? “ Salah seorang dari penonton berdiri dan mengutarakan apa yang disimpulkannya, “ Permainan tadi menjelaskan bahwa dibutuhkan kerjasama yang baik agar tidak terjadi kesalahpahaman. “ Kemudian salah satu dari peserta ikut memberi penjelasan, “ Saya simpulkan jika terjadi kesalahpaham maka kita harus mencari penyebab dan jalan keluar dari kesalahpahaman tersebut dan memperbaikinya. “ Instruktur menutup permainan dan meminta 10 peserta kembali ke tempat duduknya.

Permainan tersebut mengajak kita untuk berfikir, bisakah dibayangkan ketika instruktur tidak menginstruksikan agar semua peserta mengutarakan apa yang didengarnya? Pasti akan terjadi perdebatan yang alot antara peserta sehingga sulit untuk menemukan titik terangnya. Peserta 1 akan menyalahkan peserta ke 2 dan yang lainnya, bahkan bisa saja mereka membuat koalisi menjadi beberapa kelompok yang dirasa hampir sama dengan arti yang dimaksud. Perdebatan akan terus terjadi bahkan menghabiskan waktu lebih dari yang telah dijadwalkan.

Permainan ini coba saya refleksikan ke dalam perdebatan panjang mengenai marxisme, dimulai dari Marx mengeluarkan tesis mengenai Dash Capital dan analisanya bersama engels membentuk manifesto komunis sampai hari ini. Telah ratusan tahun, perdebatan terus terjadi dan banyak dari para pendepat tidak mampu menemukan titik selesai dari perdebatan ini.Banyak dari mereka hanya berkutat di kritik yang sebenarnya tidak menjadi substansi dari ajaran Marx itu sendiri. Terkait pada perdebatan mengenai Marxisme pada bulan April di surat Kabar Padang Ekspres, saya coba merefleksikan apa yang disampai Novelia Musda, Dedy Arsya, Rudi Cahyadi, dan Febrian Bartez dalam menanggapi artikel dari Heru Joni Putra. Semua mencoba memproyeksikan dari sudut padang masing – masing dan saya rasa tidak ada yang keliru dengan itu. Sedikit mengutip kalimat yang pernah dilontarkan oleh Yusman Zendrato seorang aktivis GRI , Cahaya redup dari celah dinding bisa lebih terang hanya dengan menggeser tempat untuk memandangnya.” Oleh karenanya, izinkan saya untuk melihat dari sudut pandang yang menurut saya lebih terang dalam memandang konsep marxisme itu sendiri.

Marxisme  dan Orde Baru

Tahun 1965 menjadi tombak di mana kondisi Indonesia berbalik 360 derajat. Upaya yang telah dilakukan oleh founding father kita untuk memperjuangkan negara yang seutuhnya merdeka menjadi sebuah kesia – siaan. Naiknya Soeharto menjadi penyebab kenapa ajaran marxisme dilarang di muka bumi Indonesia. Masih ingat dengan pembantaian jutaan umat manusia hanya karena ia dituduh komunis? Bagaimana surat kabar tentara memboikot berita mengenai kekejaman sukma Gerwani dan 7 Jenderal yang dibunuh oleh PKI ? Pasca kejadian itu, Soeharto mengeluarkan banyak kebijakan salah satunya adalah Tap. MPRS no.XXV/1966 tentang pelarangan setiap kegiatan untuk menyebarkan / mengembangkan ajaran komunisme/marxistme dan Leninisme di Indonesia. Semua ditujukan untuk cita – cita bersama yaitu pembangunan. Banyak cerita dan pengakuan sejarah mengenai kejadian ini. Simbol – simbol mulai disebar ke mana mana mulai dari monumen, film, cerita , dan pelajaran dalam buku sejarah sekolah yang menjadi Ingatan jangka panjang masyarakat. Narasi itu berkembang dari mulut ke mulut, masuk di setiap sudut kehidupan dan menjadi ingatan jangka panjang. Selama kita belum bisa memutuskan simbol – simbol itu, seketika hal tersebut akan menjadi ingatan kebencian untuk umat manusia.

K.H Abdulrahman Wahid pernah mencoba untuk mencabut TAP. MPRS no.XXV/1966, namun hal ini ditolak oleh beberapa kelompok yang mengatakan ini berbahaya. Tapi logikanya begini, jika memang orang yang membunuh 7 dewan jendral bersalah dan ada anggota dari Gerwani yang melakukan penganiayaan pada 7 jenderal maka pertanyaannya adalah kenapa kejadian tersebut harus dibayar dengan penumpasan jiwa yang tak bersalah. Bukankah di logika hukum mengatakan bahwa dialah yang bersalah dengan bukti yang cukup maka ialah yang dijatuhi hukuman? Lalu kenapa malah membunuh orang yang tak berdosa dan mengeluarkan kebijakan untuk menghapuskan ajaran marxistme dan leninisme? Apa yang salah dengan konsep marxistme sehingga begitu saja dihapus dari muka bumi Indonesia? Saya sependapat dengan Heru Toni Putra bahwasannya Soeharto terlalu terburu buru untuk mengambil keputusan tanpa menganalisanya secara sehat. Cuba dengan menerapkan konsep marxistme berhasil memerdekan dirinya dari penjajahan dan Venezuelapun mampu menolak untuk tidak mau membayar hutang luar negeri dan membangun kehidupan yang lebih sejahtera.Lalu apa inti dari ajaran Marxisme itu sendiri? Pernahkah kita benar benar membacanya?

Marx melalui bukunya Das Kapital menjelaskan mengenai kapitalisme yang tertuang dalam Materialisme Historis. Seperti yang telah dijelaskan oleh Rudi, masalahnya bertitik tolak pada penghisapan nilai lebih pada perekonomian. Ekonomi menjadi pondasi bawah yang menentukan apa yang menjadi bangunan atas seperti politik, agama, pendidikan, hukum, dan media. Semua diarahkan untuk menjadi ketergantungan. Tingkat akhir dari kapitalisme adalah imperialisme. Imperialisme bersama imperium dan logika kapistalitik menjajah suatu bangsa untuk kemakmuran bangsanya sendiri. Marx memformulasikannya dalam analisa materialisme dialetika historis dan menjabarkannya menjadi dua aspek yaitu materialisme dialetika dan materialisme historis. Marx yang dulunya seorang hegellian mengambil konsep dialetikanya hegel dan mengambil konsep materialismenya ferbauch dan menggabungkannya menjadi sesuatu yang dinamis bahwa segala sesuatu berubah, bergerak, dan berkembang. Terlepas Marx adalah seorang yahudi dan perlu di waspadai. Benar jika segala sesuatu perlu kita waspadai, namun bukankah kita perlu kembali menggali akar waspada itu dan menemukan solusi?

Rusia dan China merupakan salah satu dari sekian banyak yang menerapkan prinsip marxisme dan mengalami kegagalan. Indonesiapun coba menerapkan Marhaenisme yang tertuang lewat trisakti yang disampaikan oleh Soekarno dan juga gagal karena peristiwa 1965. Ernest mandel mencoba menganalisa dari sisi sosiologisnya, David Harvey mencoba menganalisa dari sisi geografis, dan banyak lagi yang mencoba menjelaskan masalah kontemporer pasca fase industrial. Rusia dan China memang gagal dalam menerapkan marxisme, ketika mereka gagal apakah serta merta marxisme yang dipersalahkan? Bagaimana dengan logika liberalistik yang selama ini menindas satu sama lain dengan kekuasaan kapital? Bukannya itu jurang pemisah yang menyebabkan adanya si kaya dan si miskin? Adanya yang tergantung dan menjadi penggantung?

Lenin, Mao, Soekarno, Fidel Castro, Ho Chi Min, dan Hugos Chaves adalah mereka yang mencoba memutus jembatan antara si kaya dan miskin. Mereka mencoba membangun tatanan yang lebih humanis dan manusiawi. Di mana tidak ada penindasan manusia atas manusia lainnya dan penindasan bangsa atas bangsa yang lainnya. Hanya saja, perjuangan tidak akan sampai di situ saja. Segala sesuatu berubah, bergerak dan berkembang begitu juga dengan kemerdekaan, ia senantiasa harus dipertahankan dengan selalu menolak pada setiap bentuk penindasan yang ada.

Menanti Fajar Menyingsing

Pengetahuan dan kekuasaan saling terkait satu sama yang lain. Kita tidak bisa membayangkan bahwa suatu ketika ‘pengetahuan’ tidak lagi bergantung pada ‘kekuasaan’ sebagaimana mustahil ‘pengetahuan’ tidak mengandung ‘kekuasaan’
- Michel Foucault –

Pasca tergulingnya Soekarno dan Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, nalar pendidikan serta merta diubah menjadi nalar yang mendukung pembangunan kapitalistik. Nalar tersebut coba dibangun dalam paradigma Rencana Pembangunan Lima Tahun mulai dari REPELITA I sampai REPELITA VI. Penataran P4 dan metode pelajaran tersentralisasi pusat membuat peserta didik tidak lagi kritis. Program dalam REPELITA membawa bangsa Indonesia kembali menjadi bangsa yang ketergantungan. Kekritisan dibungkam sejak kita berada di dalam perut, kemudian dilanjutkan pada pendidikan nonformal, pendidikan formal dan sampai kita menjadi seseorang yang menerapkan doktrin tersebut pada anak cucu kita. Misalnya saja, anak kecil sudah di didik untuk membeli mainan, tergantung dengan game online yang ditampilkan oleh seperangkat peralatan berkabel dan playstation dan mainan mobil mobilan tanpa mampu untuk menciptakan mainan sendiri. Kemudian di bangku sekolah, kita diajarkan untuk menghafal bukan untuk memahami apa arti dari pelajaran itu. Misalnya di pelajaran kita diminta untuk menghafal nama – nama menteri dan presiden, namun kita tidak pernah diajak untuk memahami apa tugas menteri dan presiden itu sendiri. Kita diajarkan pelajaran “ logika “ dalam pelajaran matematika di SMP dan SMA, namun kita tidak diajarkan untuk mengaplikasikan logika itu dalam kehidupan sehari hari. Kita tahu rumus – rumus fisika, namun tidak pernah memahami bahwa rumus tersebut lahir dari kehidupan sehari hari. Kita tidak diajar sebagai pencipta, namun kita diajar dan dibentuk untuk menjadi pemakai. Misalnya saja, lulusan Sarjana Informatika bekerja di perusahaan asing yang memproduksi chip komputer. Kita hanya sebagai aplikator dan pengguna. Kita bukan dijadikan sebagai bangsa yang pencipta namun sebagai konsumen. Mediapun ikut ambil peran sebagai corong untuk menggaungkan budaya konsumerisme.

Jatuhnya Soeharto dan masuk ke era reformasi, semua berlomba – lomba untuk memperbaiki dunia pendidikan. Mulai dari diadakannya pendidikan kritis, pendidikan alternatif, dan baru – baru ini pendidikan berkarakter. Namun tetap saja, hasil yang di dapat selalu nihil. Begitu juga dengan memasukan pelajaran Marxistme di pelajaran sekolah. Bisa dikatakan banyak dari orang orang Indonesia yang masih terjebak dalam narasi yang diciptakan Soeharto. Kepahitan mengenai anti komunisme dan marxisme masih melekat dalam ingatan masyarakat Indonesia. Memasukan pelajaran Marxistme sama saja dengan memberikan obat pahit kepada seorang anak kecil. Lalu apakah tidak ada cara lain? Saya berfikir, ada cara yang lebih baik untuk bisa melihatnya dengan lebih jernih. Tidak masalah itu pelajaran agama, kewarganegaraan, sains maupun ilmu sosial, yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana memandang gambaran pelajaran dalam kerangka marxisme yang berprinsip pada metode berpikir ilmiah, yang bisa dipertanggung jawabkan berdasarkan hukum – hukum dialetika.

***
tulisan ini masih butuh masukan dan kritikan dari berbagai pihak
penulis