6.14.2012

Belajar dari Sejarah, Tolak RUU PT . . . !



Angelique Maria Cuaca
Front Mahasiswa Nasional ( FMN ) Padang

“ JAS MERAH : Jangan Sekali – kali Melupakan Sejarah ..! “
-          Soekarno –

Lebih dari setengah abad bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda. Kolonial Belanda pada saat itu datang ke bumi Indonesia dan mulai menyedot kekayaan alam yang ada di dalamnya. Seluruh hasil bumi dikeruk dan untuk mendapatkan harga murah, mereka memperbodohi rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia dibuat bodoh agar dapat membeli tanah , bahan baku, dan buruh dengan harga murah. Industri manufaktur dan perkebunan dibangun di areal Jawa, daerah yang terlebih dahulu ditaklukan mereka.

Namun pada awal abad ke 20, Ratu Wilhelmina dari Belanda menerapkan Politik Balas Budi atau yang kita kenal dengan politik etis dalam bentuk kebijakan Trias Politika. Pemerintah Belanda mengatakan bahwa ini merupakan balas budi untuk rakyat Indonesia yang telah membantu Belanda. Namun sesungguhnya, uluran kasih tersebut tak lebih dari penerapan Politik Pintu terbuka. Kebijakan yang dihasilkan tak lebih untuk menguntungkan pihak Belanda. Pemerintah mencanangkan 3 program untuk Indonesia yakni Irigasi, Emigrasi, dan Pendidikan. Diantara ketiganya, pendidikan yang kemudian jadi tujuan utamanya.

Paradigma pendidikan saat itu diarahkan untuk menghasilkan tenaga terdidik, bukan untuk pencerdasan bangsa. Mahalnya biaya sekolah dan diskriminasi pendidikan saat itu hanya membuka peluang bagi anak keturunan ninggrat/ kerajaan dan golongan priyayi / pegawai pemerintahan untuk menikmatinya. Anak petani dan buruh hanya mampu memasukan anaknya di pesantren. Bahasa yang digunakan sebagai pengantar di sekolah – sekolah adalah bahasa Belanda. Sentralisme pendidikan ditujukan pada kurikulum dari Eropa. Dengan dibukanya sekolah untuk pegawai pemerintahan Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) jelas memberi bukti bahwa hasil pendidikan semata – mata digunakan untuk mengisi kekosongan bangku pegawai teknis pemerintah Belanda. Mereka menempati jabatan sesuai dengan tingkat pendidikan. Mereka dijadikan pegawai administrasi yang menghitung keuangan belanda. Beberapa diantaranya dijadikan mandor di perkebunan, pertambangan, dan tempat yang menjadi sektor kerja rakyat. Secara tak sadar, mereka dijadikan tameng untuk melawan bangsa sendiri. Konflik langsung antara Belanda dan rakyat Indonesia dapat diredam dengan menaikan golongan priyayi dan ninggrat menjadi birokrat lokal.

Tergulingnya Belanda dan masuknya Jepang sebagai penjajah, terjadi krisis yang luar biasa. Banyak sekolah yang tidak sesuai dengan kebijakan Jepang ditutup. Serikat mahasiswa di berbagai Universitas dibubarkan. Jepang mengeluarkan kebijakan bahasa Indonesia harus digunakan sebagai bahasa pengantar. Bahasa Jepang wajib diajarkan di setiap sekolah. Kurikulum Belanda diganti dengan kurikulum Jepang. Pendidikan saat itu diarahkan pada wajib militer untuk menambah pasukan bagi Jepang. Namun beberapa dari studi klub yang ada melakukan gerakan bawah tanah untuk terus melakukan perlawanan. Gerakan tersebut melahirkan momentum di mana Sukarni dan kawan - kawan mendesak Soekarno dan Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Tahun 1945 Indonesia merdeka dan disanalah babak baru pendidikan Indonesia secara otonomi mulai dibangun.

Perjuangan untuk terus mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa terkecuali kemudian tertuang amanat pembukaan UDD 1945, “ Dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”  dan pasal 31nya yang mengatur tentang pendidikan. Pekik kemerdekaan bangsa Indonesia menjadi bukti bahwa pencerdasan bangsa haruslah dilakukan. Bangsa yang cerdaslah yang harus melawan segala bentuk penindasan. Seperti yang diungkapkan Soekarno, Perjuangan rakyat Indonesia adalah perjuangan melawan penjajahan manusia atas manusia yang lainnya, penjajahan bangsa atas bangsa yang lainnya.

Sinar Sang Fajar itu mulai memudar 
“ Habis gelap, terbitlah terang . . . .”
Raden Ajeng Kartini –

Orde Lama menjadi titik awal yang cerah bagi dunia Pendidikan Indonesia. Penerapan anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD berdasarkan amanat UUD 1945 pasal 31 ayat 4 perlahan dilaksanakan. Mulai tahun 1950, kualitas pendidikan Indonesia mulai diperbaiki secara fisik.Sarana dan prasarana satu persatu mulai dilengkapi. Pembangunan sekolah mulai dilakukan di berbagai daerah.Ekspansi tenaga pengajar  juga dilakukan dari tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Banyak kursus diberikan pemerintah untuk menambah jumlah guru. Sekolah Guru yang mulai dibangun yakni Sekolah Guru Bawah (SGB) untuk di Sekolah Dasar dan Sekolah Guru Atas (SGA) untuk di Sekolah Menengah Pertama. Ki Hajar Dewantara, Menteri Pendidikan pertama mengeluarkan Instruksi Umum beberapa hari setelah teks proklamasi dibaca. Ia menyerukan kepada para guru agar membuang sistem pendidikan kolonial dan mengutamakan patriotisme. Pada saat itu, Guru benarlah sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka memiliki misi pencerdasan bangsa. Peran mereka untuk ikut melawan serta berupaya untuk melepaskan bangsa dari belenggu kolonial Belanda patut diberi ancungan jempol.

Selain menambah jumlah guru, ujian terpusat juga dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelajar Indonesia. Kurikulum kolonial mulai diganti dengan kurikulum nasional tahun 1952 dan direvisi tahun 1964. Anak berusia 8 tahun diwajibkan mengenyam sekolah dasar. Perguruan tinggi negeri mulai dibangun seperti Universitas Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor dan Universitas Airlangga. Semua proses pendidikan diarahkan untuk melepaskan diri seutuhnya dari penjajahan. Dalam pembukaan UUD 1945 mengatakan bahwa kemerdekaan haruslah diisi dan dipertahankan lewat upaya – upaya. Paradigma pendidikan diarahkan semata – mata untuk mewujudkan amanat trisakti yang diungkapkan Soekarno yakni berdikari di bidang Ekonomi, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Meskipun pada prosesnya terjadi jatuh dan bangun karena agresi militer yang digencarkan Belanda. Namun seruan untuk menolak penjajahan tersebut terus dilakukan.

Tergulingnya Soekarno pada tahun 1966 dan berganti dengan rezim Soeharto, wajah pendidikan yang membebaskan perlahan mulai kembali terbelenggu. Anggaran pendidikan yang awalnya 20%, hanya dilaksanakan 9,3%. Rezim Soeharto yang berkuasa 32 tahun, sedikit demi sedikit menurunkan anggaran pendidikan sampai di angka 8%. Kenaikan biaya pendidikan sedikit mulai sedikit terjadi. Sekolah dan jaminan pendidikan memang diperbanyak. Banyak dari masyarakat Indonesia yang mampu bersekolah. Namun  tujuan pendidikan semata – mata untuk misi pembangunan yang tertuang dalam kebijakan Rencana Pendidikan Lima Tahun (REPELITA). Sistem yang tertuang dalam kurikulumnya semata – mata diabdikan untuk pembangunan. Ketergantungan bangsa terhadap kapitalisme lokal terus dibangun. Kekritisan peserta pendidikan dibungkam dengan berbagai kebijakan. Pada tahun 1995, Investasi asing mulai masuk secara terang terangan ketika Indonesia bergabung dalam WTO. Saat itu, Soeharto menandatangi perjanjian Letter of Intern di mana pendidikan termasuk jasa yang dikomoditikan secara internasional. Seperti kata Pramudya Ananta Tour, “ Berabad – abad bangsa Indonesia menjadi buruh bagi bangsanya sendiri dan buruh di antara bangsa – bangsa .“ Pendidikan menjadikan anak bangsa sebagai buruh yang mengabdi pada kepentingan pemilik modal lokal dan asing. Pendidikan menciptakan para pekerja yang tunduk dan tidak mampu berdiri di atas kakinya sendiri.

Habisnya orde baru dan masuk ke era Reformasi, peningkatan kualitas pendidikan menjadi salah satu agenda utama. Namun yang terjadi adalah perdagangan pendidikan lebih luas. Privatisasi pendidikan terjadi di segala sektor pendidikan. Anggaran pendidikan terus turun. Pada tahun 2001, kabinet reformasi menetapkan anggaran pendidikan hanya 3,7% .  Sedangkan tahun 2012, anggaran pendidikan dialokasikan 20% namun dana tersebut tidak seutuhnya untuk praktek pendidikan. Untuk pengembangan pendidikan hanya ditetapkan 5 triliun dari 285 triliun, sekitar 2%. Parahnya dalam RUU PT alokasi anggaran pendidikan hanyalah 2,5%.  Alokasi tersebut sudah termasuk di dalamnya investasi, pengembangan pendidikan dan gaji. Kebijakan satu dekade lebih ini menimbulkan kenaikan SPP dan biaya yang lainnya. Belum lagi tindak korupsi merajalela di setiap sendi pemerintahan. Kondisi ini menyebabkan banyaknya peserta didik yang putus sekolah bahkan tak mampu melanjutkan perguruan tinggi. 14 tahun setelah reformasi ternyata belum mampu mencerahkan wajah pendidikan yang terlanjur suram. Terang itu menjadi gelap.

RUU PT, Sejarah itu terulang 
“ Bangsa yang melupakan sejarahnya ditakdirkan untuk mengulanginya “
George Santaya

“ Apa guna kita memiliki sekian ratus ribu alumni sekolah yang cerdas
Tetapi massa rakyat dibiarkan bodoh?
Segeralah kaum sekolah itu pasti akan menjadi penjajah rakyat
Dengan modal kepintaran mereka “
Y.B.Mangunwijaya –


Indonesia merupakan salah satu anggota dari WTO yang menandatangani perjanjian General Agreement on Trade in Services (GATS) Desember 2004.Saat itu perjanjian tersebut ditandatangani oleh Susilo Bambang Yudiyono, presiden Republik Indonesia. GATS merupakan perjanjian di mana 12 sektor jasa di negara berkembang masuk dalam dunia perdagangan, salah satunya adalah pendidikan. Komersialisasi diterapkan pada institusi pendidikan negeri Indonesia dimulai sejak dikeluarkan PP no 16 tahun 1999. Saat itu 5 universitas negeri di Indonesia berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Mereka diantaranya Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gajah Mada (UGM), dan Universitas Airlangga (UNAIR). PP no 16 tahun 1999 menjelma jadi UU no.20 tahun 2003 yang mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU no.20 tahun 2003 menelurkan UU no.9 tahun 2009 yang merumuskan perubahan Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP). Pada saat itu Universitas Sumatera Utara (USU) dan Universitas Pendidikan Indonesia(UPI) merubah diri menjadi BHP. UU no.20 tahun 2003 juga menelurkan PP no.17 tahun 2010 yang mengatur tentang Badan  Layanan Umum (BLU). BHMN, BHP, dan BLU memiliki isi yang sama di mana Perguruan Tinggi Negeri (PTN) diharuskan menjadi Badan Hukum yang bersifat otonom.

Perguruan Tinggi Negeri yang telah menjadi Badan Hukum diberi keluasaan untuk mengatur bidang akademik maupun non akademik. Akhirnya, biaya pendidikan yang harus ditanggung peserta didik menjadi lebih mahal.  Universitas Indonesia sejak 2004 menerapkan Admission Fee dan Biaya Operasional Berkeadilan. Universitas Pendidikan Indonesia ada Dana Pengembangan Lembaga dan Biaya Peningkatan Mutu Akademik. Universitas Gajah Mada ada Biaya Operasional Pendidikan dan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik.

Selain itu, mereka juga diperkenankan untuk mendirikan badan usaha berbentuk organisasi nirlaba. Hal ini bertujuan untuk menutupi kekurangan dana operasional PTN. IPB mendirikan Botani Square sebagai sarana rekreasi juga penelitian dan hotel berbintang 5. UGM mendirikan GAMA Multi Usaha. UII membuka Jogja Internasional Hospital (JIH). Untuk ranah penelitian, mereka memiliki otonomi untuk bekerjasama dengan dunia usaha dan industri sehingga hasil penelitian tersebut dapat dikomersilkan. Hal ini terbukti dari pernyataan Rektor IPB yang menjelaskan bahwa hasil penelitian hendaklah dikomersilkan guna menutupi kekurangan dana yang dibutuhkan oleh institusi pendidikan.

Akhir Mei 2010, UU BHP dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi setelah Judicial Reivew. PP no.17 tahun 2010 diubah menjadi PP no.66 tahun 2010 dimana status pengelolaan keuangan bagi PT BHMN dan PT BHP dikembalikan menjadi PTN biasa. Kondisi saat itu sempat membuat PTN yang telah berbadan Hukum menjadi kelimpungan. UU BHP memang secara umum tidak mengatur rinci  tentang penyelenggaraan liberalisasi perguruan tinggi. Di akhir tahun 2010, Mendikbud dan DPR.RI kembali mengatur secara rinci tentang penyelenggaraan liberalisasi pendidikan lewat Rancangan Undang – Undang Perguruan Tinggi (RUU PT ). Isi RUU tersebut tidak jauh beda dengan UU BHP.

RUU PT menggambarkan bahwa Perguruan tinggi negeri dan swasta pada akhirnya disamaratakan. PTN menjelma menjadi PTS dalam bentuk badan hukum. Praktek dan cara kerjanya tak beda dengan PTS. Komersialisasi pendidikan akhirnya terlaksana secara merata di Indonesia. Beberapa pasal dalam RUU PT juga menjelaskan bahwa perguruan tinggi asing boleh menanamkan sahamnya di Indonesia. Cabang universitas asing boleh berdiri di Indonesia seperti Presiden University, Universitas Pelita Harapan ( UPH ) dan yang lainnya. PTS maupun PTN berbadan hukum harus bersaing dengan asing. Hari ini kita tahu, kurikulum pendidikan Indonesia masih tertinggal sangat jauh dibandingan kurikulum negara luar. RUU PT yang akan diterapkan akan menimbulkan persaingan yang tajam antara perguruan tinggi asing (PTA) dengan perguruan tinggi Indonesia (PTI). PTI kemudian akan seluas luasnya mencari dana operasional baik melalui badan usahanya maupun investasi dengan investor asing maupun lokal. Biaya pendidikan akan semakin meningkat. Kita kembali pada kondisi politik etis dulu. Hanya yang memiliki kemampuan membayar biaya mahallah yang mampu mengecap pendidikan. Mereka yang miskin hanya menjadi buruh dan pekerja.

Rancangan Undang – Undang perguruan tinggi ( RUU PT ) mengingatkan kita pada trias politika zaman Belanda. Hanya golongan priyayi dan bangsawan yang mampu mengecap pendidikan. Rakyat miskin hanya menjadi sapi yang diperah oleh para terdidik untuk kepentingan penguasa asing. RUU PT yang dua bulan lagi hendak disahkan menjadi Undang – Undang Perguruan Tinggi memiliki tujuan yang sama. Dunia pendidikan dijadikan alat untuk menghasilkan manusia penindas yang menindas manusia lainnya. Pola pendidikan zaman politik etis dan pendidikan hari ini memiliki pola yang sama yaitu pendidikan hanya dikecap oleh orang yang berduit dan digunakan sebesar – besarnya untuk kepentingan penguasa.

Kebijakan pendidikan yang dihasilkan pemerintah selama ini tidak menyentuh akar dari problematika pendidikan. Dunia pendidikan Indonesia semakin menunjukan sisi kelamnya. Sinar Pencerdasan itu meredup. Pemerintah selama ini hanya menggayung air yang meluap dari ember dan tidak menutup keran untuk menghentikan penyebab meluapnya air. Sudah seharusnya pemerintah bertanggung jawab untuk memperbaiki anggaran dan pengelolaan dana pendidikan, lebih merubah metode pembelajaran dalam kurikulum, dan sarana pra sarana untuk pendidikan. Pemerintah juga harus mengembalikan orientasi dari pendidikan itu sendiri yakni sebesar – besarnya untuk pencerdasan bangsa.

Kita kembali mengulangi sejarah. Kita harus mengulangi lagi sejarah perjuangan tersebut. Pastinya dengan evaluasi perjuangan dari masa yang telah lalu. Hari ini proses perampungan RUU PT terus bergulir dan 2 bulan lagi RUU PT akan disahkan menjadi Undang – Undang Perguruan Tinggi. Tolak RUU PT, tolak komersialisasi pendidikan…!! Hapuskan ratifikasi GATS dan revisi UU SISDIKNAS no 20 tahun 2008 agar mengedepankan kepentingan rakyat dan bukan untuk asing..! Wujudkan demokrasi nasional bagi seluruh rakyat Indonesia..!