12.26.2010

Sumber Ekonomi dalam Ketidakadilan SOsial

Tulisan ini merupakan hasil refleksi dari bab 1 yang saya baca pada buku ini. Jika ada penambahan ataupun pengurangan, diharapkan kesediaannya untuk memberikan komentar. Terimakasih.. d ( ^_^)b
Angel like maria -

TESIS TESIS POKOK MARXISME
ERNEST MANDEL
Terbitan : RESIST BOOK “ SERI IDEOLOGI “

                                                                         BAB 1
                               SUMBER EKONOMI DALAM KETIDAKADILAN SOSIAL

Berbicara mengenai bertahan hidup berarti berbicara mengenai cara mendapatkan makanan. Semua makhluk hidup memperoleh makanan untuk mempertahankan hidup. Segala cara dilakukan agar dapat bertahan. Tidak hanya tumbuhan dan binatang, tapi juga manusia.

Pada masa prasejarah, manusia hidup dalam kemiskinan. Ketidakmampuan mereka dalam mengelola sumber daya alam membuat mereka  hidup di bumi sebagai parasit.kehidupan saat itu begitu sulit. Kegiatan berburu, memancing, dan mengumpulkan buah dijadikan pilihan untuk mempertahankan hidup.

Manusia pertama hidup berkelompok / berkolektif dalam lingkup organisasi sosial. Organisasi ini tidak mengenal struktur.Setiap anggota kelompok yang tergabung di dalamnya dilatarbelakangi oleh kesamaan tujuan untuk mempertahankan hidup.  Mereka sangat konsisten menjaga keadilan di dalam komunitas.Tak ada hak istimewa untuk salah satu orang yang mengakibatkan kelaparan bagi yang lain ataupun merusak kelangsungan hidup kolektif.

Dalam aktivitas masyarakat primitif, Semuanya memiliki peran dalam proses produksi. perempuan dan laki laki disibukan oleh kegiatan produksi makanan.  Kerja dari setiap orang menentukan kelangsungan hidup sebuah masyarakat. Oleh sebab itu,sedikit dari mereka yang memiliki waktu untuk membuat dan menyimpan alat, mempelajari teknik rumit metalurgi, ataupun melakukan pengamatan sistematis terhadap fenomena alam.

Pada saat revolusi neolitik, kaum perempuan memberikan sumbangsi penting bagi kelangsungan hidup masyarakat. Mereka menekan kemiskinan dengan menemukan teknik pertanian. Teknik membuat tembikar dan menganyam juga merupakan penemuan terpenting kaum perempuan pada masa itu. Setiap anggota komunitas mulai diberi kebebasan untuk memproduksi makanannya sendiri. Pembagian kerja dilakukan dalam spesialisasi yang sederhana.Mereka membuat tempat penyimpanan makanan dan juga perternakan.  Perlahan lahan, ketergantungan manusia pada alam mulai berkurang.

Kerja keras manusia mulai membuahkan hasil.Berbagai teknik pertanian terus mereka dikembangkan.Surplus mulai tersebar dari desa ke desa dan kebutuhan akan makananpun terpenuhi. Surplus makanan besar dan permanen merupakan revolusi ekonomi terbesar saat itu.  Manusia mulai memberdayakan diri mereka dan berangsur angsur meninggalkan kondisi kemiskinan.

Sayangnya keadilan itu tidak bertahan lama ketika surplus tersebut dikonsentrasikan ke militer atau pemimpin agama. Surplus digunakan untuk memberikan makanan kepada para tawanan yang tertangkap dalam perang. Para tawanan dijadikan budak oleh si pemilik makanan dan diwajibkan bekerja sebagai ganti atas makanan mereka. Akibatnya, posisi organisasi sosial dalam kehidupan primitif menjadi terjungkir balik.

Secara pelan, struktur egaliter komunitas desa mulai berubah.Produk sosial tak lagi memenuhi kebutuhan produsennya. Para budak dijadikan produk surplus sosial bagi para pemilik budak. Surplus yang dihasilkan budak  menyebabkan munculnya perbedaan yang antagonistik pada kelas sosial. Tak ada lagi keadilan di sana.Masyarakat mulai terpecah dalam pembagian antara kelas yang memproduksi dengan kelas yang menguasai. Pembagian masyarakat ke dalam kelas kelas dikonsolidasikan untuk pengambilan alat produksi oleh kelas pemilik.

Pada kenyataannya, Produksi surplus sosial membuat para pemilik budak memiliki waktu luang untuk fokus pada aktivitas yang membantu meningkatkan produktifitas kerja sosial. Mereka memisahkan antara kerja otak dan otot, serta membagi masyarakat dalam kelas yang lebih kecil lagi. Permulaan masa ini ditandai dengan adanya perkembangan teknik ilmiah pertama seperti astronomi, geometri, hidrografi, mineralogi, dan menulis. Kemudian disusul oleh kemajuan ekonomi.

Meskipun produk surplus sosial ada, tidak serta merta membebaskan umat manusia dari kerja yang berulang ulang, mekanis dan melelahkan. Hal tersebut malah membuat jurang yang besar antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Ketidak adilan sosial terus dipertahankan dengan mempertahankan surplus sosial yang ada. Pada akhirnya,Hal inilah mendorong lahirnya Negara yang merupakan institusi utama untuk mempertahankan kondisi yang ada- yaitu ketidakadilan sosial.

Akan tetapi,tidak semua masyarakat yang menerima kondisi tersebut. Mereka yang sadar atas bentuk ketidak adilan melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan keadilan. Seperti pemberontak budak Spartakus di Romawi, berbagai pemberontakan dibawah kekaisara Cina, Revolusi Tabories di Behemia, dan dalam sekte biara Kristen maupun dalam koloni komunis di imigran Amerika. Mereka melakukan revolusi sosial dengan mencabut kepentingan kelas penguasa untuk kepentingan kelas baru. Atau dengan cara lain, menghancurkan semua surplus sosial untuk kembali pada kemiskinan primitif yang ekstrim.

Namun revolusi sosial memperjuangkan keadilan seolah dikutuk gagal. Perjuangan sosial yang dilakukan hanya membuat struktur ketidakadilan sosial semakin bertambah besar. Penindasan terhadap bentuk surplus sosial terus terjadi dan meluas.Pada masa kapitalisme industri modern,surplus sosial tak hanya menjadi alat produksi dalam pemenuhan kebutuhan, tapi menjadi alat produksi untuk kepentingan kelas dalam kepentingan pertumbuhan produksi yang tidak terbatas.

Setelah 15.000 tahun, muncullah sosialisme sebagai solusi bagi kondisi ketidakadilan sosial. Di mana masyarakat egaliter didirikan atas dasar kemakmuran dan bebas dari kemiskinan. Sosialisme dikembangkan pada dasar ekonomi maju, di mana produk surplus sosial sangat tinggi. Sosialisme memungkinkan semua produsen membebaskan dirinya dari kerja melelahkan, rutin, serta memberikan waktu luang cukup bagi seluruh komunitas sehingga mereka dapat secara kolektif memenuhi tugas tugas manajerial kehidupan ekonomi, sosial, dan politik.

****

8.02.2010

Involusi Gerakan Perempuan

Oleh : Angelique Maria Cuaca
(Mahasiswa Ekonomi Universitas Padang dan Biro Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cab. Padang


Gerakan perempuan tidak lepas dari sejarah perkembangan masyarakat. Karena tidak lepas dari sejarah gerakan masyarakat, maka gerakan perempuan ikut mengalami pasang surut,  ada perkembangan dan kemunduran sehingga ada pengaruh terhadap tahapan yang  mereka lalui. Tahapan tahapan itu berjalan dalam periodisasi waktu yang berbeda dan berpengaruh terhadap kuantitas serta kualitasnya. Paradigma yang ada yang akhirnya menentukan dan membentuk arah dan tujuan gerakan perempuan.

Orde Soekarno
Di dalam proses kelahiran negara Indonesia, revolusi fisik merupakan keniscayaan. Gerakan perempuan pada saat itu bahu-membahu di dalam hiruk pikuk revolusi, menjadi bagian dari unit tempur yang dibentuk untuk memberikan pertolongan pertama dan menyediakan makanan bagi tentara.

Ketika revolusi fisik selesai, gerakan perempuan kemudian diperhatikan negara. Hal itu tercermin dari prinsip kesetaraan yang dicantumkan pada UUD 1945. Organisasi perempuan pada masa ini cenderung mendukung negara. Mereka juga fokus membantu keluarga pada masa-masa kesusahan.

Orde Soekarno merupakan Orde Historis bagi gerakan perempuan, karena banyak pergulatan yang terjadi. Periode yang merupakan masa kritis gerakan perempuan. Organisasi perempuan tumbuh dan berkembang pesat. Negara memberikan kebebasan terhadap mereka untuk beraktivitas hingga ke tingkat perdesaan.Mereka memiliki kegiatan sendiri dan mandiri meskipun tuntutan mereka mengenai undang-undang perkawinan seringkali diabaikan. Kesetaraan semakin terasa saat undang-undang mengenai pembayaran gaji setara untuk pegawai negeri diberlakukan negara dan masuknya perempuan dalam beberapa susunan kabinet.

Gerakan perempuan makin bergerak militan. Para ibu mendidik anaknya dalam keyakinan revolusioner. Mereka juga berpartisipasi dalam gerakan anti neo-kolonialisme. GERWANI merupakan organisasi perempuan terbesar berhaluan sosialis radikal yang militan saat itu. Mereka memperjuangkan cita-cita keibuan sesuai dengan kebutuhan kaum buruh dan petani perempuan. Strategi mereka memperbaiki beban kerja perempuan. Mereka memberantas buta huruf melalui kursus-kursus, tujuannya untuk membuat perempuan sadar politik serta melatih perempuan miskin untuk menjadi pemimpin. Di samping itu, mereka juga membentuk sekolah taman kanak kanak, koperasi konsumsi, kelompok tolong menolong, dan simpan pinjam. Anggota direkrut dari perempuan kalangan rakyat jelata.

Orde Soeharto

Berbicara tentang penindasan terhadap perempuan berarti mempertanyakan politik pemerintah dan menyebarkan fitnah.Negara mendoktrin bahwa perempuan tidak berhak menuntut banyak hal, karena seumur hidupnya, ia istri yang patuh terhadap suami dan Negara melalui pengajaran Panca Darma Wanita. Perempuan digambarkan memiliki sifat lemah-lembut, tidak berbicara dengan suara keras menjadi istri yang penurut dan anak perempuan yang patuh.

Orde Soeharto adalah orde penghancuran gerakan perempuan revolusioner. Pada masa ini, gerakan perempuan melawan penindasan dibungkam. Hal itu dibuktikan dari pembumihangusan organisasi-organisasi yang memperjuangkan hak-hak perempuan miskin.

Perempuan disimbolkan negara sebagai pelaku yang mendukung pembangunan. Pada saat Orde Baru, pemaknaan arti ibu lebih diperluas. Perempuan dipandang secara kodrati sebagai pengasuh dan pendidik generasi muda. Bahkan ketika kerusahan Mei terjadi, presiden Soeharto dengan tegas menghimbau seluruh ibu agar mengingatkan pemuda yang melakukan demonstrasi. Hubungan politik dan sosial dipusatkan pada sosok bapak dan ibu. Julia suryakusuma (1987) memperluas pemikiran ibuisme menjadi ibuisme negara yang dijadikan watak ideologi. Konstruksi makna ibu dan bapak diperluas lagi dimana panggilan ibu dan bapak dilekatkan kepada semua perempuan dan laki laki, bukan hanya sebagai ibu dan bapak biologis.
]
Negara membentuk Dharma Wanita dengan program PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) yang mengarahkan perjuangan perempuan ke arah pembangunan. Dalam perekrutan anggota, Dharma Wanita wajib diikuti oleh istri pegawai negeri. Jabatan yang mereka terima setara dengan pangkat suaminya. Di sini tercermin bahwa perempuan mendapatkan jabatan bukan dari kemampuan dan minat mereka, namun tergantung pada suami. Dharma Wanita menjadi sama dengan Fujinkai, organisasi perempuan dalam masa penjajahan Jepang, secara struktur dan gerak. Dharma Wanita tidak memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, karena bagi mereka kaum perempuan sudah beremansipasi melalui perjuangan R.A. Kartini. Kegiatan mereka terfokus pada demontrasi masak memasak, pembuatan kerajinan, jahit menjahit, dan mengikuti penataran indoktrinisasi ideologi negara.

Orde Pasca Soeharto

"sebelum amuk massa meletus, terlihat beberapa orang berpakaian perlente memberi uang kepada sejumlah pemuda untuk membuat kerusuhan." (Aksi, 19-25 Mei 1998, hlm. 5).

"Setelah kedua gadis itu berhasil melepaskan diri dari orang-orang biadab itu, saya mendekati mereka dan mendekapnya. Mereka minta saya membantu mencarikan jalan aman untuk pulang. Karena saya tinggal di daerah itu, saya hafal jalan pintas menuju jalan raya. Sesampai di perempatan Cengkareng, saya melihat beberapa mayat perempuan dalam keadaan telanjang, dengan muka ditutup koran. Perempuan-perempuan itu tampak telah diperkosa, karena dari vagina mereka terlihat leleran darah yang mengering dan dikerubungi lalat. Setelah menolong dua wanita itu, saya pulang melewati jalan yang sama. Ketika saya sampai di perempatan Cengkareng, mayat-mayat perempuan itu sudah tidak ada lagi. Ke mana mayat-mayat itu? Siapa yang membawa mereka?" (Saksi mata, Muara Angke, 14 Mei 1998).

Tanda-tanda sebelum berakhirnya Orde Soeharto adalah kerusuhan yang terjadi pada bulan Mei 1998. Kebanyakan sasarannya adalah orang Cina. Orang Cina menjadi korban, sasaran empuk untuk melanggengkan Orde yang banyak keroposnya. Aliansi Kemanusiaan Korban Kekerasan Negara dalam pernyataannya menyatakan bahwa peristiwa Mei 1998 adalah sebuah kerusuhan yang terencana. (Mengenang untuk Tidak Melupakan. Pernyataan Sikap Peringatan 6 Tahun Tragedi Mei 1998. Paguyuban Keluarga Korban Mei 1998 - Aliansi Kemanusiaan Korban Kekerasan Negara. Pondok Ranggon, 13 Mei 2004)

Setelah Orde Soeharto berakhir dan digantikan para pemimpin berikutnya, tidak ada upaya negara untuk membongkar peristiwa yang menimpa orang Cina. Bukanlah kesan yang salah senadainya Orde Pasca Seoharto dinilai masih mengikuti warisan lama, adat Orde Soeharto yang membiarkan rakyat menjadi korban, dan pembiaran ini merupakan sebuah kesengajaan karena kebijakan politik yang dihasilkan negara justru bersikap dingin atas jatuhnya korban. Tidak cukup menjadi korban, stigma pun harus ditempelkan atas diri korban sebagai pelengkap penderitaan mereka.

Ketika para pemimpin Orde Pasca Soeharto tidak mampu mendorong negara menegakkan keadilan maka menjadi mustahil mendorong kebijakan negara menjadi maju. Ketika para perempuan dibiarkan negara menjadi korban peristiwa kejahatan politik masa lalu, akan sangat sulit membayangkan negara kemudian dapat memberi ruang politik yang segar terhadap perempuan, seperti. ketika Megawati sempat menjabat jadi Presiden, DPR menghasilkan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu yang mengatur kuota sekurang-kurangnya 30 persen bagi perempuan.
]
Tetapi secara umum, kebijakan politik Megawati selama menjabat jadi Presiden tidak banyak mendukung perempuan. Perempuan yang menjadi sasaran kekerasan justru lepas dari perhatiannya. Megawati gagal mengangkat kasus pelanggaran HAM, mulai dari kasus yang menimpa perempuan selama  DOM di Aceh pada tahun 1989-1998 dan kerusuhan rasial Mei 1998 yang diikuti dengan pemerkosaan perempuan Cina, penjarahan, pembakaran, pembunuhan, dan pembantaian.

Pasca Megawati tidak menjabat jadi Presiden, peraturan dan perundangan tidak lagi mengakomodir peran perempuan, tetapi mengkriminalkan tubuh perempuan. Menjadi perempuan adalah kejahatan sehingga tubuhnya harus banyak dibalut kain, tubuhnya tidak bebas muncul di luar rumah, dan tubuhnya adalah sumber pengundang kejahatan dan mendatangkan godaan bagi lelaki.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat setidaknya mulai dari tahun 1999-2009, ada 154 Peraturan Daerah yang diskriminatif. Setelah itu, peraturan yang diskriminatif bukannya berkurang, bahkan bertambah, baik di daerah maupun pusat. Dari awal 2009 hingga menjelang akhir 2010, terjadi penambahan 62 aturan diskriminatif. (Dalam Dua Tahun, Ada 62 Aturan Baru yang Diskriminatif. Tempo Interaktif, Rabu, 06 Oktober 2010. http://www.tempointeraktif.com/ )

Menurut Thomas Aquinas, negara punya kewajiban untuk melindungi warga negaranya. Tetapi yang terjadi di Indonesia, negara gagal tidak saja dalam melindungi warga negaranya yang berjenis kelamin perempuan, tetapi juga dalam memberikan rasa keadilan bagi warga negaranya yang berjenis kelamin perempuan.

Ketika negara tetap memilih bersikap diam menyaksikan diskriminasi yang terus terjadi dan tidak berupaya mengakhiri diskriminasi itu, maka negara menjadi institusi yang kemudian bertanggungjawab terhadap proses diskriminasi jenis kelamin sehingga mematikan gerak perempuan sebagai pribadi yang berakibat perempuan tidak dapat memiliki kemerdekaannya sebagai manusia dan berujung pada matinya gerakan perempuan secara berangsur-angsur. Karena itu, (1) negara harus memberi ruang bagi perempuan baik dalam tataran pribadi ataupun di ruang publik, (2) Penghapusan hukum, peraturan, perundangan yang mendiskriminasikan perempuan karena bertentangan dengan kovenan HAM, (3) Hukum hukum yang mendukung keterlibatan perempuan di tingkatan publik harus dihasilkan.***

6.25.2010

Sudah Setahun

hanya untuk sekedar refleksi:

ada yang mau, tapi ia tidak mampu ...
ada yang mampu, tapi ia tidak mau..
parahnya ada yang tidak mampu dan ia juga tidak mau,
lalu bagaimana dengan yang mampu dan mau?

apakah kesadaran "mau dan mampu" hanya teletak pada untaian kata tanpa "gerak yang jelas"?
ataukah pada tulisan tulisan progesif revolusioner yang membangkitkan amarah juga semangat?

lalu kesadaran yang seperti apa?
apakah hanya cukup dengan kata "sadar" dan esoknya semakin banyak keadaan "si miskin", dan kita tetap pada kata kata " sadarlah dan terus sadarlah"?

apakah cukup kita sadar dan kita masih duduk di kursi goyang kenyamanan melihat sketsa hidup yang semakin lama semakin hancur??

sekali lagi tidak,

kesadaran yang sesungguhnya adalah ketika kita menyadarinya dan mengaplikasikan kesadaran itu dalam "wujud gerak nyata" walau dalam hal yang kecil sekalipun.

so, tunjukan semangat progesif revolusionermu tidak hanya di lisan ataupun tulisan,
namun gerak... ^^

sadar dan bergeraklah..!

salam progesif revolusioner..!

salam pembebasan..! ^^

Angelique Maria Cuaca
24 Juni 2010 jam 18:36