2.28.2011

Fajar Merah Indonesia


Oleh : Angelique Maria Cuaca

Sewaktu kecil, saya ingat ada sebuah permainan sederhana yang biasa dilakukan sebagai ice breaking selingan suatu kegiatan. Permainan itu bernama “ bisik – bisik “.  Permainan ini dilakukan sebagai cara menyegarkan otak. Semua akan tertawa ketika apa yang disampaikan berbeda dari awal yang dimaksudkan. Menurut artikel di Psikologi Zone tanggal 15 Agustus 2009, tertawa memang dapat menyeimbangkan hormon penyebab stress dan meningkatkan kekebalan tubuh. Namun, tanpa disadari nilai dari permainan itu bukan hanya untuk menjaga kesehatan dan sebagai selingan untuk mencairkan suasana yang alot karena runtutan kegiatan yang padat. Nilai yang diambil sebenarnya bisa lebih dari itu.

Seorang instruktur menerangkan permainan kepada 10 peserta. Mereka diminta berbarisdan diberi nomor secara berurutan mulai dari 1 sampai 10. Permainan dimulai ketika instruktur memberikan secarik kertas  peserta 1 dan meminta orang tersebut untuk membisikan isinya ke peserta 2, peserta ke 2 membisikan kepada peserta 3, begitu seterusnya sampai terakhir ke peserta 10. Setelah itu, instruktur menyimpan kertas dan meminta peserta ke 10 untuk menyebutkan apa yang menjadi hasil dari bisikan peserta ke 9 yang didengarnya. Seluruh peserta ribut setelah mendengar apa yang disampaikan peserta 10, semuanya saling menyalahkan. Peserta ke 6 menyalahkan ke 10 , “ bukan itu yang dibisikan. Wah salah nih, harusnya kan seperti ini. “ Semua berusaha memperjuangkan apa yang dikatakannya adalah sesuatu yang benar .Instruktur membiarkan suasana itu riuh dan 10 menit kemudian ia menginstrukturkan agar semua peserta mengutarakan apa yang didengarnya mulai dari peserta pertama sampai terakhir.

Instruktur berkata, “ Peserta pertama, apa yang kamu baca dari secarik kertas yang saya berikan tadi? “Peserta pertama menjawab, “ Saya suka situ sebab situ suka sama sapi saya sehingga sapi saya suka senyum senyum sendiri. “ Semua penonton tertawa. Peserta kedua lanjut menjawab, “ Saya suka situ sebab situ senyum sama sapi saja. “ Mendengar penuturan peserta ke 2, penonton kembali tertawa sampai penuturan peserta ke 10 yang hanya terdengar, “ Saya suka sapi. “ Suasana dalam ruangan menjadi hidup oleh riuh tertawa penonton, tak terkecuali peserta. Instruktur kemudian mengeluarkan secarik kertas yang diberikan pada peserta pertama tadi dan membacanya, “ Saya suka situ sebab situ suka sama sapi saya sehingga sapi saya suka senyum senyum sendiri. “ Semua yang ada di ruangan itu tertawa kembali. Intruktur kemudian memberi pertanyaan kepada semua yang ada di ruangan, “ Lalu kesimpulan apa yang bisa kita ambil dari permainan ini? “ Salah seorang dari penonton berdiri dan mengutarakan apa yang disimpulkannya, “ Permainan tadi menjelaskan bahwa dibutuhkan kerjasama yang baik agar tidak terjadi kesalahpahaman. “ Kemudian salah satu dari peserta ikut memberi penjelasan, “ Saya simpulkan jika terjadi kesalahpaham maka kita harus mencari penyebab dan jalan keluar dari kesalahpahaman tersebut dan memperbaikinya. “ Instruktur menutup permainan dan meminta 10 peserta kembali ke tempat duduknya.

Permainan tersebut mengajak kita untuk berfikir, bisakah dibayangkan ketika instruktur tidak menginstruksikan agar semua peserta mengutarakan apa yang didengarnya? Pasti akan terjadi perdebatan yang alot antara peserta sehingga sulit untuk menemukan titik terangnya. Peserta 1 akan menyalahkan peserta ke 2 dan yang lainnya, bahkan bisa saja mereka membuat koalisi menjadi beberapa kelompok yang dirasa hampir sama dengan arti yang dimaksud. Perdebatan akan terus terjadi bahkan menghabiskan waktu lebih dari yang telah dijadwalkan.

Permainan ini coba saya refleksikan ke dalam perdebatan panjang mengenai marxisme, dimulai dari Marx mengeluarkan tesis mengenai Dash Capital dan analisanya bersama engels membentuk manifesto komunis sampai hari ini. Telah ratusan tahun, perdebatan terus terjadi dan banyak dari para pendepat tidak mampu menemukan titik selesai dari perdebatan ini.Banyak dari mereka hanya berkutat di kritik yang sebenarnya tidak menjadi substansi dari ajaran Marx itu sendiri. Terkait pada perdebatan mengenai Marxisme pada bulan April di surat Kabar Padang Ekspres, saya coba merefleksikan apa yang disampai Novelia Musda, Dedy Arsya, Rudi Cahyadi, dan Febrian Bartez dalam menanggapi artikel dari Heru Joni Putra. Semua mencoba memproyeksikan dari sudut padang masing – masing dan saya rasa tidak ada yang keliru dengan itu. Sedikit mengutip kalimat yang pernah dilontarkan oleh Yusman Zendrato seorang aktivis GRI , Cahaya redup dari celah dinding bisa lebih terang hanya dengan menggeser tempat untuk memandangnya.” Oleh karenanya, izinkan saya untuk melihat dari sudut pandang yang menurut saya lebih terang dalam memandang konsep marxisme itu sendiri.

Marxisme  dan Orde Baru

Tahun 1965 menjadi tombak di mana kondisi Indonesia berbalik 360 derajat. Upaya yang telah dilakukan oleh founding father kita untuk memperjuangkan negara yang seutuhnya merdeka menjadi sebuah kesia – siaan. Naiknya Soeharto menjadi penyebab kenapa ajaran marxisme dilarang di muka bumi Indonesia. Masih ingat dengan pembantaian jutaan umat manusia hanya karena ia dituduh komunis? Bagaimana surat kabar tentara memboikot berita mengenai kekejaman sukma Gerwani dan 7 Jenderal yang dibunuh oleh PKI ? Pasca kejadian itu, Soeharto mengeluarkan banyak kebijakan salah satunya adalah Tap. MPRS no.XXV/1966 tentang pelarangan setiap kegiatan untuk menyebarkan / mengembangkan ajaran komunisme/marxistme dan Leninisme di Indonesia. Semua ditujukan untuk cita – cita bersama yaitu pembangunan. Banyak cerita dan pengakuan sejarah mengenai kejadian ini. Simbol – simbol mulai disebar ke mana mana mulai dari monumen, film, cerita , dan pelajaran dalam buku sejarah sekolah yang menjadi Ingatan jangka panjang masyarakat. Narasi itu berkembang dari mulut ke mulut, masuk di setiap sudut kehidupan dan menjadi ingatan jangka panjang. Selama kita belum bisa memutuskan simbol – simbol itu, seketika hal tersebut akan menjadi ingatan kebencian untuk umat manusia.

K.H Abdulrahman Wahid pernah mencoba untuk mencabut TAP. MPRS no.XXV/1966, namun hal ini ditolak oleh beberapa kelompok yang mengatakan ini berbahaya. Tapi logikanya begini, jika memang orang yang membunuh 7 dewan jendral bersalah dan ada anggota dari Gerwani yang melakukan penganiayaan pada 7 jenderal maka pertanyaannya adalah kenapa kejadian tersebut harus dibayar dengan penumpasan jiwa yang tak bersalah. Bukankah di logika hukum mengatakan bahwa dialah yang bersalah dengan bukti yang cukup maka ialah yang dijatuhi hukuman? Lalu kenapa malah membunuh orang yang tak berdosa dan mengeluarkan kebijakan untuk menghapuskan ajaran marxistme dan leninisme? Apa yang salah dengan konsep marxistme sehingga begitu saja dihapus dari muka bumi Indonesia? Saya sependapat dengan Heru Toni Putra bahwasannya Soeharto terlalu terburu buru untuk mengambil keputusan tanpa menganalisanya secara sehat. Cuba dengan menerapkan konsep marxistme berhasil memerdekan dirinya dari penjajahan dan Venezuelapun mampu menolak untuk tidak mau membayar hutang luar negeri dan membangun kehidupan yang lebih sejahtera.Lalu apa inti dari ajaran Marxisme itu sendiri? Pernahkah kita benar benar membacanya?

Marx melalui bukunya Das Kapital menjelaskan mengenai kapitalisme yang tertuang dalam Materialisme Historis. Seperti yang telah dijelaskan oleh Rudi, masalahnya bertitik tolak pada penghisapan nilai lebih pada perekonomian. Ekonomi menjadi pondasi bawah yang menentukan apa yang menjadi bangunan atas seperti politik, agama, pendidikan, hukum, dan media. Semua diarahkan untuk menjadi ketergantungan. Tingkat akhir dari kapitalisme adalah imperialisme. Imperialisme bersama imperium dan logika kapistalitik menjajah suatu bangsa untuk kemakmuran bangsanya sendiri. Marx memformulasikannya dalam analisa materialisme dialetika historis dan menjabarkannya menjadi dua aspek yaitu materialisme dialetika dan materialisme historis. Marx yang dulunya seorang hegellian mengambil konsep dialetikanya hegel dan mengambil konsep materialismenya ferbauch dan menggabungkannya menjadi sesuatu yang dinamis bahwa segala sesuatu berubah, bergerak, dan berkembang. Terlepas Marx adalah seorang yahudi dan perlu di waspadai. Benar jika segala sesuatu perlu kita waspadai, namun bukankah kita perlu kembali menggali akar waspada itu dan menemukan solusi?

Rusia dan China merupakan salah satu dari sekian banyak yang menerapkan prinsip marxisme dan mengalami kegagalan. Indonesiapun coba menerapkan Marhaenisme yang tertuang lewat trisakti yang disampaikan oleh Soekarno dan juga gagal karena peristiwa 1965. Ernest mandel mencoba menganalisa dari sisi sosiologisnya, David Harvey mencoba menganalisa dari sisi geografis, dan banyak lagi yang mencoba menjelaskan masalah kontemporer pasca fase industrial. Rusia dan China memang gagal dalam menerapkan marxisme, ketika mereka gagal apakah serta merta marxisme yang dipersalahkan? Bagaimana dengan logika liberalistik yang selama ini menindas satu sama lain dengan kekuasaan kapital? Bukannya itu jurang pemisah yang menyebabkan adanya si kaya dan si miskin? Adanya yang tergantung dan menjadi penggantung?

Lenin, Mao, Soekarno, Fidel Castro, Ho Chi Min, dan Hugos Chaves adalah mereka yang mencoba memutus jembatan antara si kaya dan miskin. Mereka mencoba membangun tatanan yang lebih humanis dan manusiawi. Di mana tidak ada penindasan manusia atas manusia lainnya dan penindasan bangsa atas bangsa yang lainnya. Hanya saja, perjuangan tidak akan sampai di situ saja. Segala sesuatu berubah, bergerak dan berkembang begitu juga dengan kemerdekaan, ia senantiasa harus dipertahankan dengan selalu menolak pada setiap bentuk penindasan yang ada.

Menanti Fajar Menyingsing

Pengetahuan dan kekuasaan saling terkait satu sama yang lain. Kita tidak bisa membayangkan bahwa suatu ketika ‘pengetahuan’ tidak lagi bergantung pada ‘kekuasaan’ sebagaimana mustahil ‘pengetahuan’ tidak mengandung ‘kekuasaan’
- Michel Foucault –

Pasca tergulingnya Soekarno dan Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, nalar pendidikan serta merta diubah menjadi nalar yang mendukung pembangunan kapitalistik. Nalar tersebut coba dibangun dalam paradigma Rencana Pembangunan Lima Tahun mulai dari REPELITA I sampai REPELITA VI. Penataran P4 dan metode pelajaran tersentralisasi pusat membuat peserta didik tidak lagi kritis. Program dalam REPELITA membawa bangsa Indonesia kembali menjadi bangsa yang ketergantungan. Kekritisan dibungkam sejak kita berada di dalam perut, kemudian dilanjutkan pada pendidikan nonformal, pendidikan formal dan sampai kita menjadi seseorang yang menerapkan doktrin tersebut pada anak cucu kita. Misalnya saja, anak kecil sudah di didik untuk membeli mainan, tergantung dengan game online yang ditampilkan oleh seperangkat peralatan berkabel dan playstation dan mainan mobil mobilan tanpa mampu untuk menciptakan mainan sendiri. Kemudian di bangku sekolah, kita diajarkan untuk menghafal bukan untuk memahami apa arti dari pelajaran itu. Misalnya di pelajaran kita diminta untuk menghafal nama – nama menteri dan presiden, namun kita tidak pernah diajak untuk memahami apa tugas menteri dan presiden itu sendiri. Kita diajarkan pelajaran “ logika “ dalam pelajaran matematika di SMP dan SMA, namun kita tidak diajarkan untuk mengaplikasikan logika itu dalam kehidupan sehari hari. Kita tahu rumus – rumus fisika, namun tidak pernah memahami bahwa rumus tersebut lahir dari kehidupan sehari hari. Kita tidak diajar sebagai pencipta, namun kita diajar dan dibentuk untuk menjadi pemakai. Misalnya saja, lulusan Sarjana Informatika bekerja di perusahaan asing yang memproduksi chip komputer. Kita hanya sebagai aplikator dan pengguna. Kita bukan dijadikan sebagai bangsa yang pencipta namun sebagai konsumen. Mediapun ikut ambil peran sebagai corong untuk menggaungkan budaya konsumerisme.

Jatuhnya Soeharto dan masuk ke era reformasi, semua berlomba – lomba untuk memperbaiki dunia pendidikan. Mulai dari diadakannya pendidikan kritis, pendidikan alternatif, dan baru – baru ini pendidikan berkarakter. Namun tetap saja, hasil yang di dapat selalu nihil. Begitu juga dengan memasukan pelajaran Marxistme di pelajaran sekolah. Bisa dikatakan banyak dari orang orang Indonesia yang masih terjebak dalam narasi yang diciptakan Soeharto. Kepahitan mengenai anti komunisme dan marxisme masih melekat dalam ingatan masyarakat Indonesia. Memasukan pelajaran Marxistme sama saja dengan memberikan obat pahit kepada seorang anak kecil. Lalu apakah tidak ada cara lain? Saya berfikir, ada cara yang lebih baik untuk bisa melihatnya dengan lebih jernih. Tidak masalah itu pelajaran agama, kewarganegaraan, sains maupun ilmu sosial, yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana memandang gambaran pelajaran dalam kerangka marxisme yang berprinsip pada metode berpikir ilmiah, yang bisa dipertanggung jawabkan berdasarkan hukum – hukum dialetika.

***
tulisan ini masih butuh masukan dan kritikan dari berbagai pihak
penulis

12.26.2010

Sumber Ekonomi dalam Ketidakadilan SOsial

Tulisan ini merupakan hasil refleksi dari bab 1 yang saya baca pada buku ini. Jika ada penambahan ataupun pengurangan, diharapkan kesediaannya untuk memberikan komentar. Terimakasih.. d ( ^_^)b
Angel like maria -

TESIS TESIS POKOK MARXISME
ERNEST MANDEL
Terbitan : RESIST BOOK “ SERI IDEOLOGI “

                                                                         BAB 1
                               SUMBER EKONOMI DALAM KETIDAKADILAN SOSIAL

Berbicara mengenai bertahan hidup berarti berbicara mengenai cara mendapatkan makanan. Semua makhluk hidup memperoleh makanan untuk mempertahankan hidup. Segala cara dilakukan agar dapat bertahan. Tidak hanya tumbuhan dan binatang, tapi juga manusia.

Pada masa prasejarah, manusia hidup dalam kemiskinan. Ketidakmampuan mereka dalam mengelola sumber daya alam membuat mereka  hidup di bumi sebagai parasit.kehidupan saat itu begitu sulit. Kegiatan berburu, memancing, dan mengumpulkan buah dijadikan pilihan untuk mempertahankan hidup.

Manusia pertama hidup berkelompok / berkolektif dalam lingkup organisasi sosial. Organisasi ini tidak mengenal struktur.Setiap anggota kelompok yang tergabung di dalamnya dilatarbelakangi oleh kesamaan tujuan untuk mempertahankan hidup.  Mereka sangat konsisten menjaga keadilan di dalam komunitas.Tak ada hak istimewa untuk salah satu orang yang mengakibatkan kelaparan bagi yang lain ataupun merusak kelangsungan hidup kolektif.

Dalam aktivitas masyarakat primitif, Semuanya memiliki peran dalam proses produksi. perempuan dan laki laki disibukan oleh kegiatan produksi makanan.  Kerja dari setiap orang menentukan kelangsungan hidup sebuah masyarakat. Oleh sebab itu,sedikit dari mereka yang memiliki waktu untuk membuat dan menyimpan alat, mempelajari teknik rumit metalurgi, ataupun melakukan pengamatan sistematis terhadap fenomena alam.

Pada saat revolusi neolitik, kaum perempuan memberikan sumbangsi penting bagi kelangsungan hidup masyarakat. Mereka menekan kemiskinan dengan menemukan teknik pertanian. Teknik membuat tembikar dan menganyam juga merupakan penemuan terpenting kaum perempuan pada masa itu. Setiap anggota komunitas mulai diberi kebebasan untuk memproduksi makanannya sendiri. Pembagian kerja dilakukan dalam spesialisasi yang sederhana.Mereka membuat tempat penyimpanan makanan dan juga perternakan.  Perlahan lahan, ketergantungan manusia pada alam mulai berkurang.

Kerja keras manusia mulai membuahkan hasil.Berbagai teknik pertanian terus mereka dikembangkan.Surplus mulai tersebar dari desa ke desa dan kebutuhan akan makananpun terpenuhi. Surplus makanan besar dan permanen merupakan revolusi ekonomi terbesar saat itu.  Manusia mulai memberdayakan diri mereka dan berangsur angsur meninggalkan kondisi kemiskinan.

Sayangnya keadilan itu tidak bertahan lama ketika surplus tersebut dikonsentrasikan ke militer atau pemimpin agama. Surplus digunakan untuk memberikan makanan kepada para tawanan yang tertangkap dalam perang. Para tawanan dijadikan budak oleh si pemilik makanan dan diwajibkan bekerja sebagai ganti atas makanan mereka. Akibatnya, posisi organisasi sosial dalam kehidupan primitif menjadi terjungkir balik.

Secara pelan, struktur egaliter komunitas desa mulai berubah.Produk sosial tak lagi memenuhi kebutuhan produsennya. Para budak dijadikan produk surplus sosial bagi para pemilik budak. Surplus yang dihasilkan budak  menyebabkan munculnya perbedaan yang antagonistik pada kelas sosial. Tak ada lagi keadilan di sana.Masyarakat mulai terpecah dalam pembagian antara kelas yang memproduksi dengan kelas yang menguasai. Pembagian masyarakat ke dalam kelas kelas dikonsolidasikan untuk pengambilan alat produksi oleh kelas pemilik.

Pada kenyataannya, Produksi surplus sosial membuat para pemilik budak memiliki waktu luang untuk fokus pada aktivitas yang membantu meningkatkan produktifitas kerja sosial. Mereka memisahkan antara kerja otak dan otot, serta membagi masyarakat dalam kelas yang lebih kecil lagi. Permulaan masa ini ditandai dengan adanya perkembangan teknik ilmiah pertama seperti astronomi, geometri, hidrografi, mineralogi, dan menulis. Kemudian disusul oleh kemajuan ekonomi.

Meskipun produk surplus sosial ada, tidak serta merta membebaskan umat manusia dari kerja yang berulang ulang, mekanis dan melelahkan. Hal tersebut malah membuat jurang yang besar antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Ketidak adilan sosial terus dipertahankan dengan mempertahankan surplus sosial yang ada. Pada akhirnya,Hal inilah mendorong lahirnya Negara yang merupakan institusi utama untuk mempertahankan kondisi yang ada- yaitu ketidakadilan sosial.

Akan tetapi,tidak semua masyarakat yang menerima kondisi tersebut. Mereka yang sadar atas bentuk ketidak adilan melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan keadilan. Seperti pemberontak budak Spartakus di Romawi, berbagai pemberontakan dibawah kekaisara Cina, Revolusi Tabories di Behemia, dan dalam sekte biara Kristen maupun dalam koloni komunis di imigran Amerika. Mereka melakukan revolusi sosial dengan mencabut kepentingan kelas penguasa untuk kepentingan kelas baru. Atau dengan cara lain, menghancurkan semua surplus sosial untuk kembali pada kemiskinan primitif yang ekstrim.

Namun revolusi sosial memperjuangkan keadilan seolah dikutuk gagal. Perjuangan sosial yang dilakukan hanya membuat struktur ketidakadilan sosial semakin bertambah besar. Penindasan terhadap bentuk surplus sosial terus terjadi dan meluas.Pada masa kapitalisme industri modern,surplus sosial tak hanya menjadi alat produksi dalam pemenuhan kebutuhan, tapi menjadi alat produksi untuk kepentingan kelas dalam kepentingan pertumbuhan produksi yang tidak terbatas.

Setelah 15.000 tahun, muncullah sosialisme sebagai solusi bagi kondisi ketidakadilan sosial. Di mana masyarakat egaliter didirikan atas dasar kemakmuran dan bebas dari kemiskinan. Sosialisme dikembangkan pada dasar ekonomi maju, di mana produk surplus sosial sangat tinggi. Sosialisme memungkinkan semua produsen membebaskan dirinya dari kerja melelahkan, rutin, serta memberikan waktu luang cukup bagi seluruh komunitas sehingga mereka dapat secara kolektif memenuhi tugas tugas manajerial kehidupan ekonomi, sosial, dan politik.

****

8.02.2010

Involusi Gerakan Perempuan

Oleh : Angelique Maria Cuaca
(Mahasiswa Ekonomi Universitas Padang dan Biro Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cab. Padang


Gerakan perempuan tidak lepas dari sejarah perkembangan masyarakat. Karena tidak lepas dari sejarah gerakan masyarakat, maka gerakan perempuan ikut mengalami pasang surut,  ada perkembangan dan kemunduran sehingga ada pengaruh terhadap tahapan yang  mereka lalui. Tahapan tahapan itu berjalan dalam periodisasi waktu yang berbeda dan berpengaruh terhadap kuantitas serta kualitasnya. Paradigma yang ada yang akhirnya menentukan dan membentuk arah dan tujuan gerakan perempuan.

Orde Soekarno
Di dalam proses kelahiran negara Indonesia, revolusi fisik merupakan keniscayaan. Gerakan perempuan pada saat itu bahu-membahu di dalam hiruk pikuk revolusi, menjadi bagian dari unit tempur yang dibentuk untuk memberikan pertolongan pertama dan menyediakan makanan bagi tentara.

Ketika revolusi fisik selesai, gerakan perempuan kemudian diperhatikan negara. Hal itu tercermin dari prinsip kesetaraan yang dicantumkan pada UUD 1945. Organisasi perempuan pada masa ini cenderung mendukung negara. Mereka juga fokus membantu keluarga pada masa-masa kesusahan.

Orde Soekarno merupakan Orde Historis bagi gerakan perempuan, karena banyak pergulatan yang terjadi. Periode yang merupakan masa kritis gerakan perempuan. Organisasi perempuan tumbuh dan berkembang pesat. Negara memberikan kebebasan terhadap mereka untuk beraktivitas hingga ke tingkat perdesaan.Mereka memiliki kegiatan sendiri dan mandiri meskipun tuntutan mereka mengenai undang-undang perkawinan seringkali diabaikan. Kesetaraan semakin terasa saat undang-undang mengenai pembayaran gaji setara untuk pegawai negeri diberlakukan negara dan masuknya perempuan dalam beberapa susunan kabinet.

Gerakan perempuan makin bergerak militan. Para ibu mendidik anaknya dalam keyakinan revolusioner. Mereka juga berpartisipasi dalam gerakan anti neo-kolonialisme. GERWANI merupakan organisasi perempuan terbesar berhaluan sosialis radikal yang militan saat itu. Mereka memperjuangkan cita-cita keibuan sesuai dengan kebutuhan kaum buruh dan petani perempuan. Strategi mereka memperbaiki beban kerja perempuan. Mereka memberantas buta huruf melalui kursus-kursus, tujuannya untuk membuat perempuan sadar politik serta melatih perempuan miskin untuk menjadi pemimpin. Di samping itu, mereka juga membentuk sekolah taman kanak kanak, koperasi konsumsi, kelompok tolong menolong, dan simpan pinjam. Anggota direkrut dari perempuan kalangan rakyat jelata.

Orde Soeharto

Berbicara tentang penindasan terhadap perempuan berarti mempertanyakan politik pemerintah dan menyebarkan fitnah.Negara mendoktrin bahwa perempuan tidak berhak menuntut banyak hal, karena seumur hidupnya, ia istri yang patuh terhadap suami dan Negara melalui pengajaran Panca Darma Wanita. Perempuan digambarkan memiliki sifat lemah-lembut, tidak berbicara dengan suara keras menjadi istri yang penurut dan anak perempuan yang patuh.

Orde Soeharto adalah orde penghancuran gerakan perempuan revolusioner. Pada masa ini, gerakan perempuan melawan penindasan dibungkam. Hal itu dibuktikan dari pembumihangusan organisasi-organisasi yang memperjuangkan hak-hak perempuan miskin.

Perempuan disimbolkan negara sebagai pelaku yang mendukung pembangunan. Pada saat Orde Baru, pemaknaan arti ibu lebih diperluas. Perempuan dipandang secara kodrati sebagai pengasuh dan pendidik generasi muda. Bahkan ketika kerusahan Mei terjadi, presiden Soeharto dengan tegas menghimbau seluruh ibu agar mengingatkan pemuda yang melakukan demonstrasi. Hubungan politik dan sosial dipusatkan pada sosok bapak dan ibu. Julia suryakusuma (1987) memperluas pemikiran ibuisme menjadi ibuisme negara yang dijadikan watak ideologi. Konstruksi makna ibu dan bapak diperluas lagi dimana panggilan ibu dan bapak dilekatkan kepada semua perempuan dan laki laki, bukan hanya sebagai ibu dan bapak biologis.
]
Negara membentuk Dharma Wanita dengan program PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) yang mengarahkan perjuangan perempuan ke arah pembangunan. Dalam perekrutan anggota, Dharma Wanita wajib diikuti oleh istri pegawai negeri. Jabatan yang mereka terima setara dengan pangkat suaminya. Di sini tercermin bahwa perempuan mendapatkan jabatan bukan dari kemampuan dan minat mereka, namun tergantung pada suami. Dharma Wanita menjadi sama dengan Fujinkai, organisasi perempuan dalam masa penjajahan Jepang, secara struktur dan gerak. Dharma Wanita tidak memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, karena bagi mereka kaum perempuan sudah beremansipasi melalui perjuangan R.A. Kartini. Kegiatan mereka terfokus pada demontrasi masak memasak, pembuatan kerajinan, jahit menjahit, dan mengikuti penataran indoktrinisasi ideologi negara.

Orde Pasca Soeharto

"sebelum amuk massa meletus, terlihat beberapa orang berpakaian perlente memberi uang kepada sejumlah pemuda untuk membuat kerusuhan." (Aksi, 19-25 Mei 1998, hlm. 5).

"Setelah kedua gadis itu berhasil melepaskan diri dari orang-orang biadab itu, saya mendekati mereka dan mendekapnya. Mereka minta saya membantu mencarikan jalan aman untuk pulang. Karena saya tinggal di daerah itu, saya hafal jalan pintas menuju jalan raya. Sesampai di perempatan Cengkareng, saya melihat beberapa mayat perempuan dalam keadaan telanjang, dengan muka ditutup koran. Perempuan-perempuan itu tampak telah diperkosa, karena dari vagina mereka terlihat leleran darah yang mengering dan dikerubungi lalat. Setelah menolong dua wanita itu, saya pulang melewati jalan yang sama. Ketika saya sampai di perempatan Cengkareng, mayat-mayat perempuan itu sudah tidak ada lagi. Ke mana mayat-mayat itu? Siapa yang membawa mereka?" (Saksi mata, Muara Angke, 14 Mei 1998).

Tanda-tanda sebelum berakhirnya Orde Soeharto adalah kerusuhan yang terjadi pada bulan Mei 1998. Kebanyakan sasarannya adalah orang Cina. Orang Cina menjadi korban, sasaran empuk untuk melanggengkan Orde yang banyak keroposnya. Aliansi Kemanusiaan Korban Kekerasan Negara dalam pernyataannya menyatakan bahwa peristiwa Mei 1998 adalah sebuah kerusuhan yang terencana. (Mengenang untuk Tidak Melupakan. Pernyataan Sikap Peringatan 6 Tahun Tragedi Mei 1998. Paguyuban Keluarga Korban Mei 1998 - Aliansi Kemanusiaan Korban Kekerasan Negara. Pondok Ranggon, 13 Mei 2004)

Setelah Orde Soeharto berakhir dan digantikan para pemimpin berikutnya, tidak ada upaya negara untuk membongkar peristiwa yang menimpa orang Cina. Bukanlah kesan yang salah senadainya Orde Pasca Seoharto dinilai masih mengikuti warisan lama, adat Orde Soeharto yang membiarkan rakyat menjadi korban, dan pembiaran ini merupakan sebuah kesengajaan karena kebijakan politik yang dihasilkan negara justru bersikap dingin atas jatuhnya korban. Tidak cukup menjadi korban, stigma pun harus ditempelkan atas diri korban sebagai pelengkap penderitaan mereka.

Ketika para pemimpin Orde Pasca Soeharto tidak mampu mendorong negara menegakkan keadilan maka menjadi mustahil mendorong kebijakan negara menjadi maju. Ketika para perempuan dibiarkan negara menjadi korban peristiwa kejahatan politik masa lalu, akan sangat sulit membayangkan negara kemudian dapat memberi ruang politik yang segar terhadap perempuan, seperti. ketika Megawati sempat menjabat jadi Presiden, DPR menghasilkan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu yang mengatur kuota sekurang-kurangnya 30 persen bagi perempuan.
]
Tetapi secara umum, kebijakan politik Megawati selama menjabat jadi Presiden tidak banyak mendukung perempuan. Perempuan yang menjadi sasaran kekerasan justru lepas dari perhatiannya. Megawati gagal mengangkat kasus pelanggaran HAM, mulai dari kasus yang menimpa perempuan selama  DOM di Aceh pada tahun 1989-1998 dan kerusuhan rasial Mei 1998 yang diikuti dengan pemerkosaan perempuan Cina, penjarahan, pembakaran, pembunuhan, dan pembantaian.

Pasca Megawati tidak menjabat jadi Presiden, peraturan dan perundangan tidak lagi mengakomodir peran perempuan, tetapi mengkriminalkan tubuh perempuan. Menjadi perempuan adalah kejahatan sehingga tubuhnya harus banyak dibalut kain, tubuhnya tidak bebas muncul di luar rumah, dan tubuhnya adalah sumber pengundang kejahatan dan mendatangkan godaan bagi lelaki.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat setidaknya mulai dari tahun 1999-2009, ada 154 Peraturan Daerah yang diskriminatif. Setelah itu, peraturan yang diskriminatif bukannya berkurang, bahkan bertambah, baik di daerah maupun pusat. Dari awal 2009 hingga menjelang akhir 2010, terjadi penambahan 62 aturan diskriminatif. (Dalam Dua Tahun, Ada 62 Aturan Baru yang Diskriminatif. Tempo Interaktif, Rabu, 06 Oktober 2010. http://www.tempointeraktif.com/ )

Menurut Thomas Aquinas, negara punya kewajiban untuk melindungi warga negaranya. Tetapi yang terjadi di Indonesia, negara gagal tidak saja dalam melindungi warga negaranya yang berjenis kelamin perempuan, tetapi juga dalam memberikan rasa keadilan bagi warga negaranya yang berjenis kelamin perempuan.

Ketika negara tetap memilih bersikap diam menyaksikan diskriminasi yang terus terjadi dan tidak berupaya mengakhiri diskriminasi itu, maka negara menjadi institusi yang kemudian bertanggungjawab terhadap proses diskriminasi jenis kelamin sehingga mematikan gerak perempuan sebagai pribadi yang berakibat perempuan tidak dapat memiliki kemerdekaannya sebagai manusia dan berujung pada matinya gerakan perempuan secara berangsur-angsur. Karena itu, (1) negara harus memberi ruang bagi perempuan baik dalam tataran pribadi ataupun di ruang publik, (2) Penghapusan hukum, peraturan, perundangan yang mendiskriminasikan perempuan karena bertentangan dengan kovenan HAM, (3) Hukum hukum yang mendukung keterlibatan perempuan di tingkatan publik harus dihasilkan.***